Tentang Novel Cinta Pertama: From Sydney to Jakarta (Sinopsis)
Sinopsis Novel: From Sydney to Jakarta.
Buku ini adalah karya tulisan saya yang ke enam. Tapi buku novel pertama yang berkisah tentang cinta dengan latar belakang setting kota Sydney dan Jakarta.
Kisah ini dimulai ketika seorang anak muda bernama Muhammad bin Akbar yang berasal dari Indonesia sedang berusaha menimba ilmu di Sydney Australia.
Kisahnya dimulai ketika dalam perjalanan mencari ilmu, justru hati dan jiwanya kosong dan membutuhkan cinta yang murni.
Ia harus memilih melanjutkan kehidupan dan terus tinggal di Australia atau kembali ke Indonesia untuk mencari sang cinta pujaan sang jiwa.
Dalam pencarian sang cinta, dia banyak mengalami kegagalan dan pembelajaran. Uangnya habis tak tersisa, sekolahnya gagal total, cintanya kandas di tengah jalan, ia harus kehilangan pekerjaan, rumah, kendaraan, teman dan segala yang dimilikinya.
Dalam kegagalannya, justru dia banyak mendapat kata hikmah yang indah dan motivasi dari sosok teman yang tak terlihat yang selalu datang menemani, dan selalu menunjuki jalan yang lurus agar tidak tersesat dalam rimba kehidupan yang menjebak.
Walaupun jalannya terseok tapi dia terus melangkah mencari sang Maha Cinta dari Sydney ke Jakarta.
Richmond Town
“We read, to know we are not alone.” Kita membaca untuk
mengetahui bahwa kita tidak sendirian.” (Clive S. Lewis, penulis Inggris).
Aku, Muhammad Insani bin Akbar adalah seorang pemuda asal
Indonesia yang sedang merantau untuk menimba ilmu di negeri impian Australia.
Aku yang masih remaja, berwajah khas Asia dan berperawakan kecil memutuskan
untuk meraih cita dan cinta di negeri seberang. Dalam perjalanan meraih cita
dan cinta bukan perkara mudah, ada banyak jalan yang harus aku lewati dan
perjuangkan untuk menggapai keduanya sekaligus.
Dan hal itulah yang membuat aku saat ini berada di tengah sebuah
taman kota di pinggiran kota Sydney, yang dikenal dengan sebutan Richmond Town.
Kota kecil ini cukup jauh dari pusat kota Australia yang sibuk. Jarak antara
Richmond Town dan kota Sydney adalah sekitar 65 kilometer. Kota kecil ini
memang sepi namun indah, nyaman, dan sangat teratur. Penduduknya hanya
berjumlah sekitar 5000 orang saja, jumlah ini jika dibandingkan dengan penduduk
kota Jakarta tentu sangat jauh bedanya. Sekarang saja penduduknya berkisar
lebih dari 10 juta orang. Sungguh tak dapat dibandingkan.
Di setiap sudut kota Richmond, terlihat hanya ada beberapa
orang saja yang lalu lalang, dan beberapa mobil yang parkir di pinggiran jalan.
Tak terlihat banyak kesibukan di kota kecil ini. Kota yang sepi tapi sudah
cukup modern dan lebih maju dibandingkan sebagian kota di Indonesia.
Aku yang baru selesai pulang dari ANZ bank yang berada dekat
Richmond Park, kembali mencari tempat duduk untuk bersandar di sebuah kursi
taman yang terbuat dari kayu. Aku sang anak perantau dari Asia berjalan
sendiri, di tengah jalan raya yang sepi.
Sepanjang jalan masih teringat ketika aku di Indonesia,
setiap saat aku tak pernah jalan sendirian. Aku selalu bersama dan ditemani
teman dan keluarga. Sekelebat muncul rasa kangen, untuk jalan bersama, makan
bersama bahkan tidur bersama dengan teman dan handai taulan serta orang-orang
yang aku sayangi. Aku menuangkan hati dan jiwa yang terdalam ke sebuah kertas
putih.
“Wahai insani, tak mungkin merubah masa lalu. Kecuali hari
ini dan esok.
“Tak mungkin merubah yang telah berlalu. Kecuali merubah
diri dan kebiasaan.”
“Aku sendiri menahan sepi. Sepinya hati dan jiwa yang
murni.”
“Memulai hari untuk masa yang baru. Perubahan menuju cita
dan cinta yang baru.”
“Untuk keluarga dan negeri tercinta. Untuk agama dan Allah
Sang Pencipta.”
“Bumi yang kupijak. Tak akan lama bertahan.”
“Semua akan sirna dan binasa”
“Waktu terus tergerus oleh sang waktu”
“Entah dipakai atau terbuang”
“Hanya ada satu jalan untuk kembali. Membaca kitab dan
membaca bumi dan langit serta segala yang bergerak.”
“Ilmu yang dicari untuk mengisi hati dan jiwa yang kosong.”
“Dan saat ini aku sedang menuju masa depan…”
“Aku sebaiknya mencari
orang yang bisa menemaniku di negeri ini… Aku tak bisa hidup sendiri.!!”
Sebuah
bisikan suara terdengar lembut masuk ke dalam hati ini, bisikan yang tak
terdengar oleh telinga. Bisikan yang selalu menemani, bahkan sebelum aku lahir.
Dia tak berwujud tapi mewujudkan. Dia tak bersuara tapi menyuarakan.
Kertas aku simpan kembali. Lalu berjalan beberapa langkah,
aku melihat sebuah kursi kosong di taman Richmond. Kursi itu seolah memanggilku
untuk kesana, suara yang samar-samar tak terdengar memanggil bagi tiupan angin
yang meniup dingin. Aku lalu mencari tempat yang enak untuk duduk dengan santai
lalu mengambil sebuah buku catatan dari ransel yang kubawa untuk aku baca kembali
di bawah sebuah pohon yang rindang walaupun terlihat ada beberapa pucuk daunnya
terlihat berwarna coklat indah sedang berguguran jatuh ke tanah yang kering.
Saat ini, suhu memang sangat ekstrim. Di kota Sydney
Australia, cuaca sangat berbeda dengan di Indonesia. Jika di musim panas, cuaca sangatlah panas
sehingga dapat mencapai 42 derajat celcius tapi di cuaca musim dingin justru dapat
mencapai titik yang paling dingin sampai 0 derajat, yang kondisi udarannya saja
sama bahkan lebih dingin dibanding freezer di lemari es. Untungnya, cuaca kali
ini tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin, hanya berkisar 19
derajat celcius. Walaupun demikian tetap terasa sejuk, jadi aku telah
mempersiapkan diri dengan memakai 4 buah lapis baju, yaitu yang pertama adalah
baju dalam, yang kedua adalah baju kaos, yang ketiga adalah baju jumper dan
yang keempat adalah jaket yang tebal. Tak lupa pula aku menggunakan sarung
tangan tebal serta penutup kepala agar dinginnya cuaca ini tak terlalu terasa merasuk
ke tubuhku.
Salah satu cara mengobati kesepian hidup disini, tanpa teman
dan keluarga adalah dengan membaca buku. “Iya…
Membaca buku membuatku senang dan larut dalam kebahagiaan tersendiri. Ditemani
oleh sebuah buku yang berbicara”. Aku mulai terbiasa senang membaca buku,
karena terpengaruh dengan suasana dan perilaku orang-orang disini. Mereka
umumnya terlihat selalu membawa buku dan membacanya disaat sedang menunggu atau
sedang santai. Mereka jarang mengobrol atau nongkrong di jalanan. Perilaku
mereka inilah yang sedang mempengaruhiku hingga kini aku jadi sering membaca
buku terutama buku-buku yang memberikan inspirasi. Rasa kesepian dapat aku
hilangkan sesaat dengan membaca dan menulis sebuah karya.
Baru saja membuka beberapa halaman buku. Tiba –tiba hadir di
hadapanku seorang mahasiswi berambut panjang berjaket biru, kulitnya putih
cerah dan bersih. Dia sedang menggandeng sepedanya melewati jalan trotoar
dengan pelan. Dia terlihat berjalan sendiri dan sempat sekilas melihatku sambil
tersenyum malu. Sebenarnya. Ini adalah sebuah pengalaman langka melihat sosok
manusia keturunan Asia ada berjalan di sekitar sini. Aku menatapnya dan
memperhatikannya agak lama. Buku novel yang sedang aku baca, sejenak aku
turunkan dan menaruhnya di kursi taman. Ternyata, dia hendak memarkirkan sepedanya
di tempat khusus parkir sepeda yang tak jauh dari tempatku duduk. Dari caranya
memarkir sepeda, sangat terlihat kaku dan belum terbiasa dengan model parkir
sepeda yang berbentuk besi khusus yang melengkung dan rapat. Dia terlihat
“upset” (kesal).
“Can I help you….?” (Bisa saya bantu…?) Aku mencoba menyapa
untuk membantu, setelah melihatnya kesulitan untuk memasukkan ban sepedanya.
Tempat parkir khusus sepeda ini memang sudah hampir penuh, jadi sulit untuk
memasukkan sepedanya. “Well, ok…thank you.” (Baiklah, terima kasih) Jawabnya
senang, sambil memberikan sepeda mininya kepadaku yang telah berdiri dan beranjak
mendekatinya. Aku memasukkan ban sepeda ke dalam besi melengkung yang berdampingan
dan merapikan posisi sepedanya. Setelah merapikan sepedanya, aku lalu tersenyum
dan menyapanya.
“All done!” (semua beres) aku berkata lega.
“Well, thank you…..” (terima kasih) Sambil merapatkan kedua
tangannya dengan sedikit menunduk sebagai simbol terima kasih yang tulus dari
hati.
“Well, no worries… Hmmm,
How are you…?” (Apa kabar..?) Sapaku.
“Great, I’m fine, thank you….you?” (Baik, terima kasih,
kamu?) Dia menjawab sambil tersenyum ramah. Wajahnya Asianya terlihat jelas,
bermata sipit namun berkulit putih bersih.
“I’m just fine, thank you…” (Saya baik-baik saja) aku
menjawabnya dengan senang hati.
“Well, my name is Insan. I am from Indonesia” (Nama saya
Insan, dari Indonesia) Aku mencoba memperkenalkan diri, karena aku tahu sangat
sedikit orang Asia yang ada disini.
“My name is Noei, and I’m from Thai…” (Namaku Noei dan
berasal dari Thailand).
“Nice to meet you Insan,…..See you…” (Senang bertemu
denganmu) Dia memperkenalkan namanya menjabat tanganku sambil segera berlalu
untuk masuk ke sebuah pertokoan yang bernama Richmond Mall. Mallnya kecil namun
sudah lebih dari cukup dalam memenuhi semua kebutuhan kita sehari-hari. Tidak
ada pasar tradisional di sekitar sini, jadi yang paling mudah adalah belanja di
Richmond Mall tepatnya di Coles Supermarket.
“Well, nice to meet you Noei…See you too…” (Senang bertemu
denganmu, sampai jumpa) Aku membalas jabatan tangannya yang dingin sambil
tersenyum.
Kami berdua lalu berpisah di parkiran sepeda taman kota dan
aku segera beranjak menuju stasiun kereta untuk pulang ke asrama di kampus. Sambil
berjalan, aku mencoba menikmati suasana kota yang berjejer toko-toko kecil yang
sepi namun tetap hidup. Tujuanku adalah kembali ke pondokan kampus University
of Western Sydney, Hawkesbury. Sebuah kampus yang sangat besar dan sangat luas serta
merupakan salah satu universitas teratas di dunia. Sebelum masuk ke area
stasiun, uang kiriman yang aku ambil dari bank tadi kuselipkan dengan rapi
dibawah kolong ransel agar aman dari hal-hal yang tidak diinginkan jika berada
didalam kereta nanti. Aku masih baru di kota ini, jadi selalu menyiapkan diri
untuk “expect the unexpected” untuk sebuah kejadian yang tak terduga.
Dan benar saja. Baru berjalan beberapa meter, ada
segerombolan anak muda nakal yang melewatiku. Mereka terlihat tidak terlalu
suka dengan keberadaanku. Sambil tertawa salah satunya berteriak: “Hei Asian!,
Go Home!! He he heeee….” Yang lain ikut tertawa sambil meludah ke tempat
sampah. Aku yang mendengarnya, mempercepat langkahku untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan.
“Hmmm…dasar anak
nakal!” Gumamku kepada anak remaja tanggung yang baru saja lewat. Aku
mempercepat langkahku dan tidak ingin memperpanjang berurusan dengannya. Aku
berharap suatu hari nanti mereka sadar, bahwa perbedaan untuk dihargai bukan
untuk ditakuti. Yang pasti, aku berjanji, jika aku balik ke Indonesia, aku akan
menyampaikan ke semua agar selalu menghargai pendatang asing yang datang
belajar atau berkunjung ke sebuah negeri. Aku terus melangkah menuju tujuanku,
walaupun ada trauma dan rasa khawatir. Aku berusaha untuk membuangnya dengan
jauh. Perjalananku baru saja dimulai, aku ingin mendapatkan ilmu dan pelajaran
hidup yang berharga untuk kubawa pulang ke negeri tercinta. Aku tahu bagaimana
rasanya menjadi pendatang di sebuah negeri. Dan aku ingin kejadian buruk yang
menimpaku tidak akan terjadi lagi bagi pendatang di negeriku Indonesia.
Dalam kerisauan, sekejap sang ibu mendadak hadir dalam
benakku.
“Ingat Insani!. Kamu ke luar negeri untuk meraih sarjana.
Ingat itu!. Kamu harus sarjana. Jangan main-main-main atau pacaran dulu! Kamu
adalah anak harapan orang tua di kampung!! Kami semua disini sangat berharap
denganmu agar bisa sukses nantinya dan mengangkat nama baik keluarga!!!.”
Aku terkejut dan berusaha untuk mengingat kembali tujuan aku
merantau ke negeri ini. Aku tak boleh berada di jalan yang bengkok. Aku harus
tetap fokus pada tujuanku dan tujuan keluargaku merantau hingga ke negeri ini. Sebuah
syair aku tuliskan dalam sebuah buku putih agar menjadi pelajaran abadi
nantinya.
Wahai puisiku yang suci dan yang putih menemani. Merantaunya
diri yang sepi. Sepi sendiri dan menyepi.
Kulangkahkan kaki keluar kampung halaman.
Kuayunkan langkah meraih cita dan cintanya.
Perginya diri untuk kembali
Perginya jiwa untuk kembali
Sendiri meniti jalan sepi
Sendiri meraih niat yang suci.
Akankah cita dan cinta diraih
Akankah duka dan derita pergi
Akankah bahagia diraih
Akankah sepi dan sunyi tak ada lagi.
Sang jiwa berkelana ke negeri seberang
Hati yang kering mencari pohon yang rindang.
Jiwa yang suci terbang menari di langit impian.
Goresan hati yang luka
Perlahan mulai terbuka.
Membuka hijab yang tertutupi
Hingga cahaya Ilahi mulai masuk
Menerobos hati dan jiwa.
Dia yang menemani
Berbicara ke hati
Bahkan ketika tak ada yang menemani.
Suci, murni tak bertepi.
BERSAMBUNG
(Diambil dari kisah novel: From Sydney to Jakarta 2019)
CLICK TO READ |
Comments