Tentang Novel "The Poet's Love Verse" Ayat Cinta Sang Pujangga (Sinopsis)
Buku ini, adalah buku novel pertama saya.
Saya terinspirasi untuk menulis novel ketika sering ngobrol bareng bersama sang penulis novel Dua Surga Dalam Cinta almarhum kang Atho Al Rahman dan bapak Nanang Qosim Yusuf sang penulis best seller Gramedia. Dari merekalah saya belajar banyak dan termotivasi untuk menulis sebuah novel.
Singkat cerita maka di awal tahun 2019, saya bertekad untuk mulai menulis sebuah novel yang berkisah tentang perjalanan anak muda yang berasal dari kota pantai kecil yang indah.
Kisah seorang anak muda yang memiliki banyak sekali impian dan kisah yang sedih, haru, dan membahagiakan.
Sebuah kisah syair ditemukannya tak sengaja di sebuah pantai yang indah, maka dimulailah sebuah perjalanan yang baru dan meninggalkan kampung halaman yang dicintainya.
Kehidupan awal yang tadinya membahagiakan dan berjalan sederhana mendadak penuh ujian dan konflik, kematian, perpisahan, perkelahian, kecelakaan, dan putus cinta serta kebahagiaan.
Tulisan-tulisannya membentuk sebuah syair yang indah dan penuh makna mendalam yang membawanya pada sebuah perubahan kehidupan yang diimpikannya.
Anak muda yang dikenal penakut, suka merenung dan tidak percaya diri ini malah mampu keluar dan hijrah dari kampungnya untuk mengejar mimpi-mimpinya hingga ke mancanegara.
Keputusannya untuk selalu berfikir positif dan selalu membantu masalah yang dihadapi teman dan keluarganya membuatnya juga dibantu oleh "dunia lain" yang diluar jangkauannya.
Perjalanan sang anak muda menjadi penuh nuansa kehidupan yang dinamis, tidak biasa dan penuh drama namun dapat memberikan pencerahan unik bagi para pembacanya.
Salam.
Asrul Sani 2019
@BSD City
Prolog
“Oleh
karena itu, saya terpaksa mencari sendiri jawabannya dalam buku. Kebiasaan yang
demikian menjadikan saya sebagai kutu buku. Akibatnya, saya sering menyendiri
dan terus beranalisis, tak berhenti berpikir.” Prof. DR. B.J. Habibie
Hari ini, aku sedang duduk
sendiri diatas bibir pantai. Mata yang tajam melihat ke seluruh penjuru laut
lepas pantai yang berwarna biru.
Disekelilingku berlimpah hamparan
pasir pantai yang bercahaya keemasan, sampai-sampai sinar emasnya yang
benderang mampu memantul ke atas langit. Aku tengadahkan mukaku kelangit.
Melihat langit sambil tersenyum kepadanya.
Deburan buih ombak laut biru
yang berwarna putih tak henti bergerak seirama datang silih berganti.
Sedetik, aku melangkah
kedepan dan tertarik untuk mengambil air laut yang jernih dan langsung kubasuhkan
ke seluruh wajah dan lenganku.
Seakan telah bersuci, wajah
dan seluruh tubuhku seketika menjadi sejuk dan dingin akibat tiupan angin pantai
yang lembut dan sepoi-sepoi, terasa nyaman sekali….hingga tak bisa kutolak untuk
tersenyum renyah, senyum tipis tapi terasa dihati.
Hari ini aku tersenyum
bahagia. Karena sebentar lagi aku akan mendapatkan sebuah hadiah terindah.
Seorang anak bayi akan segera hadir ke bumi. Sebuah hadiah dan anugrah terindah
dari Sang Pencipta. Aku tak sabar untuk segera melihatnya, menggendongnya dan
bermain bersamanya.
Aku lalu menarik nafasku
yang panjang, lalu kupejamkan mataku sebentar dan merasakan detak jantung yang
bunyinya berirama indah hampir seirama dengan deburan sang ombak. Mendadak,
mataku tertuju pada sebuah benda yang terus bergerak, terombang ambing di atas gelombang
lautan.
Aku lalu beranjak dari
tempat dudukku, melangkah tegak dan membungkuk untuk mengambil benda itu.
Sebuah kertas yang tersimpan dalam kaca pelindung. Aku penasaran dan segera membuka
pelindungnya.
Didalam kaca itu terdapat
secarik kertas yang tertulis rapi yang ditulis tak bernama. Kertas bertuliskan
itu, sepertinya telah melakukan perjalanan jauh dan sangat panjang.
Sebuah kalimat tertulis 99 dream.
Dan dibawahnya ada 99 angka dengan impiannya masing-masing bagai syair tentang
kehidupan.
Aku membacanya dengan
perlahan dan seksama di tengah keheningan pantai. Lalu kertas putih itu, aku
masukkan kedalam saku dan kubawa pulang bersama.
Tulisan ini seperti sebuah
rahasia yang tersimpan, karena berisi impian-impian yang belum terjadi. Kertasnya
aku bawa pulang ke rumah.
Sayup-sayup, aku dengar suara
burung walet dan camar bersahutan, seolah menyapaku yang sedang sendiri, larut
dalam menikmati waktuku. Mereka berbicara sambil mengajakku bermain dan
menikmati alam pantai yang berbukit penuh warna hijau nan asri.
Seolah berkata: “bersyukurlah
wahai engkau yang sedang duduk. Bersyukurlah wahai sang jiwa yang sendiri namun
tak sepi.”
Suara itu terdengar, namun
tidak dengan telinga. Suara yang berasal entah dari mana. Bagai frekuensi radio
alam yang bergelombang…
“Bacalah alam ini, lihatlah
sekelilingmu…”
“Bacalah dan bacalah sekali
lagi.”
“Ikuti irama bacaan dan
nikmati hidangan yang telah diberikan dari Sang Maha.”
Perlahan, kuperbaiki sikap
dudukku dan mulai lebih santai serta lebih sadar.
Maka sedetik kemudian, terbukalah
yang selama ini tertutupi. Terbukalah hati dan jiwa melalui mata, telinga dan
semua panca indera yang kumiliki. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku
rasakan sebelumnya.
Comments