Novel: BREAK UP (From Sydney to Jakarta The Novel)
“Cinta kasih di dalam
hati itu terbagi-bagi bagaikan dahan-dahan pohon cedar. Jika pohon itu
kehilangan satu dahan yang kuat, ia akan menderita namun tidak mati. Pohon itu
akan menumpahkan seluruh daya hidupnya ke dalam dahan berikutnya, sehingga ia
akan tumbuh dan mengisi tempat yang kosong.” Kahlil Gibran.
Hari masih sangat dingin, aku lihat di display jam alarm
radio suhu masih 18 derajat Celsius. Aku melanjutkan tidur sambil berselimut
tebal, pemanas ruangan masih aku biarkan terus menyala, walaupun kulit mulai
terasa kering. Matahari yang mulai masuk ke celah jendela, tak membuatku
terbangun.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang sangat keras.
“Buk…!!!
“Buk…!!!
“Buk…!!!
Aku kaget mendengarnya. “Ada
apa gerangan, pagi-pagi begini ada yang terburu-buru mengetuk pintu dengan
keras…?”
Aku mengucek mataku dan melihat ke cermin, memperhatikan
wajahku sebentar dan membuka pintu.
Pintu lalu kubuka hanya sedikit untuk melihat siapa yang
datang.
Dan ternyata berdiri sosok wanita yang berkulit putih dengan
wajah berwarna pink, dengan mata menatap tajam, seolah ingin mengatakan sesuatu
yang sangat penting.
Si Virginia, dengan cepat mendorong dan membuka pintu dengan
lebar dan masuk kedalam.
“I hate you….!” Demikian kata yang diucapkan pagi ini,
sambil memberi pukulan ke lenganku.
“What?.....What’s wrong….?” Aku bertanya keheranan dan
penasaran apa yang telah terjadi padanya.
Sambil berdiri dia bertolak pinggang dan berkata:
“You are betting with your friend right?..!!!” Dia marah
besar mengetahui aku bertaruh dengan teman-teman.
“How dare you, did that to me….????!!!!” Dia makin memuncak
amarahnya.
Aku yang merasa bersalah, hanya bisa duduk, lemas dan
terdiam. Aku tak menyangka, bahwa aku telah melakukan hal yang buruk.
“I’m sorry Virginia….I didn’t mean that…..Sorry….Please….”
Berkali-kali aku meminta maaf kepadanya.
Tapi dia masih tetap marah dan kecewa berat. Wajahnya
memerah dan matanya hampir menangis. Diapun tertunduk dan meninggalkan aku
sendiri.
Aku diam tak bergerak dan tak berani menghalangi
kepergiannya. Aku merasa, aku tak punya hak untuk membela diri. Dan aku pikir,
ini mungkin jalan yang terbaik baginya. Berpisah untuk sementara waktu,
berpisah untuk kebaikan bersama.
Suatu hari, aku melihatnya sedang berjalan menuju ke ruang
kuliah. Kebetulan kami memang ada jadwal kuliah yang sama.
Jalannya agak cepat, sehingga aku mencoba mengejarnya dan
menghampirinya.
“Sorry….about that…..” Aku kembali mengutarakan permintaan
maafku. Sambil tetap berjalan bersama diantara taman-taman yang ada di sekitar
kampus.
Dia hanya diam, sambil memasukkan tangannya kedalam jaket
yang tebal.
Kami berjalan beriringan tapi tak saling bicara.
Si Noei yang sedang duduk di taman melihat kami yang sedang
jalan berdua, lalu berteriak kencang.
“Hei….That’s my friend….!!!” Si Noei berlari kecil dan
menghampiri kami berdua.
Dia menarik lenganku dan aku juga mencoba menahan lenganku.
Terjadi tarik menarik di tengah taman.
Si Virginia yang melihat kejadian ini, malah langsung kabur
dan pergi meninggalkan kami.
Aku melepaskan pegangan tangan Noei dan mencoba mengejar
Virginia.
“Please, leave me alone….and never talk to me again right!!!
“Good bye…!!” Dia berkata dengan tegas agar aku segera
meninggalkannya.
Aku hanya bisa melihatnya dengan pasrah. Tak ada lagi yang
aku bisa perbuat selain menerima segalanya.
Aku tak jadi masuk kuliah, dan aku pergi ke sebuah lapangan
yang ada di tengah kampus untuk menenangkan diri. Aku bukannya merasa nyaman
malah menjadi semakin stress dan bosan dengan suasana kampus. Akhirnya aku
mengayuh sepedaku dan melanjutkan ke Darling Harbour yang ada di kota Sydney
untuk mencari ketenangan jiwa.
Aku mengayuh sepedaku dengan kencang, agar bisa tiba dengan
cepat di East Richmond Station. Aku tahu jadwal kereta dari time table yang
kusimpan dan sebentar lagi kereta akan berangkat ke pusat kota.
Setiba di stasiun tidak berapa lama kereta yang berasal dari
Richmond telah datang dan menuju ke arah Central Sydney.
Aku lalu masuk ke dalam kereta, dan kaget melihat sepasang
muda mudi sedang berkasih sayang diantara mereka. Kehadiranku seolah tak
berarti bagi mereka.
Aku hanya bisa duduk diam dan melihat ke arah luar jendela kereta yang melaju dengan perlahan.
Ada rasa galau dan kecewa.
Mendadak aku melihat dari kejauhan, sepeda yang aku parkir
di pinggir stasiun, diambil paksa oleh seseorang.
Aku berusaha untuk lari ke pintu gerbong kereta untuk lari keluar
gerbong, tapi pintu kereta tertutup rapat dan kereta sudah berjalan cepat. Suasana
memang sepi di stasiun ini dan sepedaku telah dibawa kabur oleh seorang anak
muda tanggung.
Aku hanya bisa terduduk di kursi kereta, kepala aku
sandarkan dengan lunglai. Aku tak menyangka akan kehilangan banyak hal seperti
hari ini. Rasanya aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan kuliah. Hidup tersesat
tak tahu arah dan tujuan.
Comments