Negeri Impian (Novel Ayat Cinta Sang Pujangga)
“Semua Mimpimu akan
terwujud. Asalkan kamu punya keberanian untuk mengejarnya.”
(Walt Disney).
Saat ini, aku sudah berada diatas langit. Terbang mengangkasa menyebrangi lautan samudra hindia.
Aku berada dalam salah
satu kursi sebuah pesawat besar yang terbang menyusuri awan putih yang
bergelombang, seputih kapas putih dan seputih jiwaku yang masih lugu.
“Semua aku mulai dari nol, dari langit ini.”gumamku.
Sekilas senyum ramah dan
renyah sang “bidadari langit” menghampiriku.
“Selamat pagi, mau makan
apa pak?” Tanyanya dengan senyum merah dibibir dan dengan bulu mata berbinar.
“Oiya, aku pesan nasi
goreng aja” jawabku mantap. Perutku memang sudah terasa lapar karena dari pagi
belum makan.
“Ini pak, nasi
gorengnya, selamat menikmati” sang pramugari menaruh makanan didepanku dan
melayani dengan sigap.
Sesaat pesawat agak
oleng, karena masuk ke awan yang tebal. Sang pramugari tetap tak bergeming,
tetap berjalan dan melayani para penumpang pesawat yang menuju ke sebuah negeri
impian.
Di ketinggian 10.000
kaki, mendadak sang pramugari menegurku kembali.
“Aku pikir kali ini ada
apa lagi yah?” Gumamku.
“Pak, bapak baik-baik
aja?” Tanyanya heran.
“Iya mba, aku baik-baik
aja, emangnya kenapa mba? Aku balik bertanya, karena aku memang merasa
baik-baik aja.
“Itu pak, hidung bapak
berdarah! Sepertinya bapak mimisan.”
Aku kaget dan langsung
memegang hidungku. Dan memang benar ada darah menggumpal di hidung sebelah
kananku.
Aku tak pernah menyangka
tekanan diatas langit dapat membuat hidung berdarah.
Dengan cepat sang
pramugari bergegas ke dalam kabin. Lalu keluar dengan membawa handuk putih kecil
yang sudah diisi oleh es batu.
Handuk kecil itu, dengan
lembut ditutupkan ke dalam hidungku agar darah tidak menetes lagi.
Dinginnya es telah
menghambat aliran darah di hidung. Aku ikut aja apa yang diperintah sang
pramugari, aku percaya ini jalan yang terbaik sambil bersandar di kursi
pesawat. Orang-orang disekitar terlihat kaget namun semuanya tetap duduk di
kursinya dan percaya semua akan baik-baik saja.
Tak terasa sudah lebih 6
jam pesawat mengudara.
Pagi jam 11.00, pesawat
besar ini dengan perlahan mendarat dengan mulus di Sydney International Airport
Australia.
Pendaratan pesawat
sangat terasa mulus semulus kain jok kursi yang menemaniku sepanjang
perjalanan.
Dengan takjub aku lihat
sebuah bandara yang besar, simple, modern dan sangat bersih.
“Wow…..subhanallah…..”
aku sangat bersyukur bisa tiba dengan selamat.
Untuk pertama kalinya
aku menginjakkan kaki di sebuah benua yang baru.
Benua yang menjadikan
salah satu tujuan langkah pertamaku merantau dari negeri surgawi Indonesia.
Di bandara, ada banyak
toko “branded” berjejer dengan rapi, bersih, elegan dan mewah.
Orang-orang terlihat
sibuk dengan kesibukannya, namun kebanyakan sibuk dengan membaca buku.
Sepertinya membaca buku adalah sebuah ritual dan hobi bagi warga negara maju
dan berkelas dunia.
Hampir semua orang yang
menunggu membaca buku kecuali petugas yang sedang menjalankan tugas memeriksa
dan melayani penumpang yang baru mendarat.
Aku juga membawa sebuah.
Sebuah kitab suci yang selalu menemaniku. Aku sayang dan merasa aman dan nyaman
ketika memeluk sang kitab. Aku percaya kitab ini memiliki energi yang luar
biasa, dan mampu menjawab setiap soalanku nanti. Kitab ini sering aku nuka
secara acak dan membaca apa saja rahasia dan makna yang terungkapkan.
Di ruang pemeriksaan,
aku agak lama diperiksa dan dicek berkali-kali. Bahkan ada seekor anjing yang
didekatkan ke arahku, untuk mengecek barang-barang yang aku bawa.
Orang lain dengan mudah
meninggalkan ruang pemeriksaan.
“Hmmmmm….ada yang aneh
ini.” Gumamku.
“Mengapa mereka mudah
diperiksanya, sedangkan aku harus diperiksa dengan teliti dan lama” Aku
bertanya dalam hati.
Aku tidak menyadari,
bahwa memang aku berbeda tampilan dengan penumpang lainnya yang berwajah bule,
putih dan bernama kebarat-baratan.
Aku hanyalah seorang
anak Asia, yang berkulit coklat, berambut hitam dan berperawakan kecil serta
bernama timur tengah, dan terakhir berasal dari Indonesia.
Sebuah negeri yang
dianggap belum maju, dan masih terbelakang dalam peradabannya.
Aku sadar, ini SOP
mereka, (Standard Operating Procedure) hal yang wajib dilakukan kepada siapa
saja yang baru datang ke negara mereka.
Untungnya di bandara
kami dijemput oleh Viona. Warga negara Australia yang menjadi pemandu kami
hingga kami bisa keluar dengan selamat.
“Hi, Insani. Good
day!!!” Sapanya dengan senyum indah.
“Hi….”Jawabku agak
gugup.
“How are you….today?”
Tanyanya lagi mencoba ramah.
“oh fine, thank you….”
Jawabku mulai tersenyum lebih ramah.
Kamipun bergegas menuju
area parkiran mobil yang berjejer rapi.
Hari sudah agak siang,
namun cuaca masih dingin serta hampir semua orang memakai sweater untuk
menghangatkan badan.
Sesekali angin bertiup
menerpa wajah kami, menambah sensasi dingin seketika. Dingin yang terasa nikmat
karena baru pertama kali merasakan cuaca dingin khas negeri kangguru.
Mobil yang kami kendarai
sebuah mobil minivan unik yang belum pernah kutemui di Indonesia, canggih dan
nyaman sekali.
Sesekali aku lihat
sepanjang jalan yang indah dan damai.
Aku melewati sebuah
jembatan yang bernama Harbour Bridge yang dibawahnya terlihat Sydney Opera
House yang seolah memanggil untuk dikunjungi.
Kota Sydney sungguh
indah. Tertata sangat rapi dengan banyaknya tempat yang aman bagi pejalan kaki.
Semuanya sudah terintegrasi dengan baik, sistem berjalan hampir sempurna. Semua
warga tertib, teratur dan bersikap manusiawi.
Laut dan sungainya
bersih, alam dijaga dan dirawat dengan baik. Kondisi lingkungan kota ramah,
hampir tidak ada polusi dan kemacetan. Semuanya serba teratur. Taman-taman
penuh terisi oleh warga yang bercengkrama dan menikmati hari. Gedung-gedung
menjulang tinggi indah dipandang mata.
Mobil yang kami tumpangi
berlaju pelan menuju wilayah yang lain diluar kota Sydney.
Di sepanjang jalan
sangat berbeda dengan pusat kota, disini terlihat banyak peternakan dan ladang
kosong.
Jalan-jalan tidak ramai
malah relatif sepi dan sangat jarang penduduknya.
Aku berpikir akan
sekolah di sebuah kota yang ramai. Perkiraanku ternyata salah. Beda brosur yang
diiklankan dengan kenyataan yang ada. Di brosur ada gambar kota Sydney namun
sangat jauh letaknya dari kampus.
Ternyata aku diantar ke
sebuah universitas yang berada di ujung pinggiran kota Sydney. Namanya
Richmond, sebuah kota kecil tempat perhentian terakhir kereta dari Central
Sydney.
Aku baru sadar, dari
tadi tidak melihat ada sebuah masjid yang banyak malah gereja.
Beberapa jam kemudian
sampailah kami di sebuah wilayah bernama
Hawkesbury, Richmond New South Wales. Ada sebuah lapangan dan taman yang indah
di tengah kota dengan beberapa orang yang sedang duduk bersandar di bawah
pohon.
Mereka terlihat sangat
menikmati kehidupan yang aman, damai dan sejahtera.
Sangat berbeda dengan
negeriku yang sibuk, ramai dan saat itu masih berantakan tak terurus.
Aku langsung diinapkan
di sebuah motel kecil di dekat kampus, karena asrama sedang disiapkan oleh
pihak “International Education”. Dan besok pagi aku sudah harus ikut pertemuan
“International Student Meeting” di sebuah aula kampus.
Paginya, aku langsung
berangkat dengan sepeda yang baru aku beli pas tiba dari Sydney Airport.
Aku sangat bersemangat,
saking bersemangatnya aku tidak merasakan lapar dan tidak juga sarapan. Air
yang dingin nol derajat aku pakai mandi tanpa “water heater.” Yang sengaja
tidak aku gunakan agar tubuhku terbiasa dengan cuaca dingin.
Aku pikir, aku sudah
terbiasa naik sepeda setiap hari di Indonesia. Pastinya aku bisa juga naik
sepeda disini , walau cuacanya sangat ekstrim dan dingin.
Aku tak peduli, sepeda
aku kayuh agar cepat sampai di kampus. Tak terasa tanganku semakin dingin dan
tubuhku juga terasa sangat dingin. Apalagi belum ada energi makanan masuk
kedalam tubuhku.
Perjalanan sepanjang
jalan serasa bagai mimpi yang menjadi kenyataan. Bersepeda dengan jaket tebal,
menikmati suasana jalan yang lengang dan indah. Jalanan sepi, hanya ada banyak
pepohonan dan peternakan dengan rumah-rumah kayu yang berjauhan letaknya. Ada
jalanan khusus bagi para pengguna sepeda agar selamat dan aman di jalan.
Akhirnya aku tiba dengan
selamat di sebuah aula tempat seluruh mahasiswa/mahasiswi dari berbagai negara
dunia berkumpul.
Suasana sudah ramai dan
ruangan penuh sesak.
Aku masuk kedalam
ruangan dengan terengah-engah karena kelelahan.
Mendadak, aku tak bisa melihat….
Semuanya gelap…
Aku buka mataku kembali dengan
lebar.
Tetap tak ada yang bisa
aku lihat.
Aku buka lagi mataku
berkali-kali…
Semuanya hanya hitam dan
gelap….
Aku tak bisa melihat
siapa-siapa.
Sebuah suara kudengar….
“hei, this man is black out!!!!” ada suara wanita asia berteriak.
“Oiya, dia pingsan…..”
suara orang Indonesia kudengar samar, sambil menggotong tubuhku yang lunglai.
“Take him out….to the
room” Seorang supervisor Australia meminta yang lain untuk membawaku ke sebuah
ruangan lain.
Disitulah aku ditidurkan
dengan nyaman. Dibantu oleh beberapa mahasiswi dari negeri Asia. Mereka dengan
baik membantuku untuk segera siuman dan sehat kembali, dengan menaruh minyak
beraroma di dekat hidungku.
“Thank you….my brother
and sister…”
Kata pertama kuucapkan
sambil mencoba bernafas dengan normal.
“No worries my
brother…..” mereka menjawab kompak sambil tersenyum.
“Whats your name?...”
Salah satu mahasiswi bertanya siapa namaku.
“My name is Insani, you
can call me San” Jawabku dengan tersenyum.
“Well San, where you
from….”Sang wanita kembali bertanya asalku dari mana.
“Iam from Indonesia…”
jawabku. Dan balik bertanya.
“All of you, where you
from….?” Aku ingin tahu mereka semua berasal dari mana saja.
“Well, I am from
Thailand” jawab si mahasiswi.
“I am from Malaysia”
yang pria menjawab. Mendadak ada yang berkata dengan logat Jawa.
“Aku dari Indonesia juga
lho heee” Seorang mahasiswa berkata sambil berdiri bergaya santai.
“Kita ada beberapa orang
disini bergabung dalam organisasi internasional sedangkan untuk mahasiswa
Indonesia kita ada juga perkumpulan mahasiswa Indonesia dalam naungan PPIA
yaitu persatuan pelajar Indonesia Australia.” Dia menjelaskan dengan tenang dan
terlihat paham, karena memang sang mahasiswa dari Indonesia sudah cukup lama beliau
tinggal di Australia.
Si Mahasiswi, dari
negeri Thailand tersenyum, walaupun tak tahu yang sedang dibicarakan namun
seolah paham poin pentingnya.
Si mahasiswi mencoba
membantuku membetulkan bantalku agar aku
dapat tidur lebih nyaman lagi.
“Well, San, have a good
rest ok” Sang mahasiswi sepertinya ingin menunjukkan sikap empatinya.
“Thankyou so much for
your help…”Aku berucap sambil menganggukkan kepala.
“You are welcome…”
jawabnya santai sambil beranjak pergi kembali ke ruang pertemuan.
Selesai pertemuan, sang
mahasiswi membawakan beberapa kue dan buah-buahan untuk aku makan.
Wah…baik sekali
mahasiswi disini. Terutama mahasiswi dari negeri Asia. Ada yang membantu
memberikan kue, ada yang membantu memasak makanan bahkan ada yang mau membantu
menyetrikakan pakaian yang kusut. Wah orang-orang Asia seperti Thailand, Laos,
Vietnam, Malaysia, Korea, India, dan Pakistan semua rajin datang membantu.
Aku kembali merenung
sendiri. Tak kusangka, tadi adalah jatuh pingsan pertama yang aku alami. Hal
itu ternyata telah membuatku mendapatkan beberapa orang sahabat baru yang baik
hati dan penolong selama tinggal nantinya di Australia.
Hari ini, sungguh luar
biasa. Amazing!!!
Semua hal yang pertama
kali aku rasakan dalam hidup terjadi dalam satu hari.
Pelajaran yang sangat
berharga. Bahwa dimanapun kita melangkah jika niat kita baik, akan berakhir
dengan kebaikan pula.
Mereka orang-orang yang
berbeda agama, beda ajaran, beda negara beda suku dan beda pemikiran namun
memiliki hati dan jiwa yang sama. Kita memiliki satu hati dan perasaan yang
satu. Ada nilai-nilai manusiawi yang kita pegang erat dan junjung tinggi.
Sebuah nilai hubungan persahabatan internasional terjalin dengan baik dan
indah.
Sejak saat itu, aku
berniat untuk ikut juga menolong siapa saja yang butuh pertolonganku saat
pertama kali tiba untuk mencari ilmu di negeri orang.
Karena aku sering banyak
membantu mahasiswa yang baru datang, maka aku diminta untuk menjadi “vice
president” sebuah organisasi pelajar di Australia yang bernama Indonesia
Australia Student Association.
Alhamdulillah aku senang sekali mendapatkan amanah ini, dan berjanji untuk tetap selalu membantu teman-teman yang membutuhkan tenaga, pemikiran atau sekedar menghabiskan waktu bersama di negeri rantau.
Setiap hari aku senang membantu dan berbagi serta berkumpul bersama. Setiap malam aku sempatkan ke perpustakaan sebuah tempat yang paling ramai di kampus. Dan bisa buka sampai jam 9 malam. Yang lain sudah tutup pada sore hari. Makan, belajar, dan tidur. Setiap hari!!!
Comments