Novel #02: Tangisan Sang Ibu (Novel Asrul Sani Abu)



Matahari yang sedari tadi pagi dengan bersemangat terus bersinar, sekarang ini sudah mulai makin meredupkan cahayanya dan gelap sudah mulai menyelimuti hari.
Tiba-tiba, sebuah jeritan keras sang ibunda terdengar sangat jelas.
"TIDAKKKKKK......!!!!!!!!”
“TIDAAAAKKKKKK.....!!!!!!!!”
Sang ibu meraung, meronta, menendang dan berteriak histeris di keheningan senja.
 “Huuuuhhhhhh….huuuuuuuuhhh……”
“Huuuuuuuuuuuuu…..........”
"Saya tidak mau kehilangan anakku!!!!"
"Dia tidak mati!!!!"
"Huuuhhhhhhhhhhhhhh"
"Aaaaaaakkkhhhhhhhhhhhhhhh...."
"Ya ALLAH"
"Saya tidak sanggup kehilangan anak ku....."
"Dia tidak berdosa!!!!!"
"Dia masih bayi........"
"Ya ALLAH............................."
" Ya ALLAH............................"
" Ya ALLAH............................"
Ia terus berteriak keras.
“AAHHHHHHHH”
Sambil sesekali menarik nafasnya dengan panjang.
Walaupun tetap menyebut asma Allah, Ibunda terus meraung dan berteriak histeris, sambil dipegangi tangan dan kakinya dengan erat oleh seluruh anggota keluarga.
Terlihat gerakan tangan dan kakinya yang meronta-ronta serta teriakannya yang keras semakin lama, semakin lemah dan lunglai.
Sang ibu beristigfar….
Astagfirullah al azhiiiiim
Astagfirullah al azhiiiiim
Atagfirullah al azhiiiiim
Dengan menarik nafasnya kembali, namun kali ini dengan sangat panjang…..
“hmmmmmmm……..”
“aaaaaaaahhhhhhhhhhh…….”  
Ia sekarang berusaha ikhlas atas semua kejadian yang telah menimpanya...dan menyebut “inna lillahi wa inna ilahi rojiun.”
Kita berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya.
Sambil bersimbah keringat, Ibunda mulai terlihat pasrah…
Aku melihatnya menangis….Seorang ibu yang kehilangan anak yang dicintainya. Anak yang dikandungnya.
Aku yang masih bocah, hanya terdiam membisu. Menunduk dan melihat kosong ke tanah.
Diam sejuta bahasa. Iya, hanya diam tak bergerak.
Tak tahu harus berbuat apa, ketika melihat ibunda berteriak histeris karena kehilangan bayi yang baru saja dilahirkannya. 
Iya, aku saat itu masih seorang bocah kecil yang baru masuk sekolah dasar.
Teriakan ibunda selalu mengingatkanku betapa perihnya kehilangan orang yang kita sayangi. Peristiwa ini akan aku bawa hingga dewasa nanti.
Aku baru saja kehilangan seorang adik yang masih bayi.
Sepintas. wajahnya terlihat putih bersih dan berhidung mancung, sekilas terlihat cakep dan bersahaja. Sang adik baru saja dilahirkan namun tidak lama setelah lahir adinda segera kembali dipanggil ke pangkuan Ilahi.  
Aku belum tahu apa-apa tentang cinta dan kehilangan, apalagi tentang kematian.
Aku memang baru saja hidup di dunia yang baru. Aku baru saja belajar menulis dan membaca…
Dunia yang asing, dan belum tahu mau kemana....entahlah.
Semua masih samar. Masih belum jelas apa yang sebenarnya terjadi.
Inikah dunia baru? Inikah dunia ciptaan Allah tempatku bersemayam dan bermain nanti?
Yang aku ingat dengan baik….
Aku mendadak ada di sebuah tempat yang aman dan nyaman. Aku merasa bagaikan masuk kedalam ruang waktu, dan mendadak tiba di bumi yang indah. Semua serba mendadak. Aku tak pernah merencanakannya…
Ya. Perjalanan hidupku baru saja dimulai, di sebuah kota kecil yang sepi namun berpantai dan berbukit yang indah.
Aku hanya manusia biasa yang memiliki harapan dan impian yang belum pasti...
Itupun masih kusimpan dengan rapat dalam sebuah tulisan yang tersimpan dan terjaga. Tak ada yang tahu dimana tulisan itu sekarang berada.
Iya. Aku hanyalah manusia biasa, seorang bocah lelaki yang lugu, bernama Muhammad Insani. Berperawakan biasa namun bermata tajam. Saat ini, aku tinggal bersama sang nenek dan kakek.
Aku memiliki hobi menulis. Kegemaranku dalam menulis dan berimajinasi, membuatku sering menulis dalam sebuah buku yang tersimpan. Buku itu memang kusimpan khusus dalam sebuah peti tua yang berharga diatas loteng.
Tulisan yang menuliskan segala yang ada, hingga nantinya membuka pintu masa depan... Masa depan yang masih misterius. Sudah tercatat, namun belum kulalui dan kurasakan.
Impian-impianku akan ada dalam sebuah syair yang sakral.
Tak ada seorangpun tahu tulisan yang ku buat dan tulis setiap malam. 
Yang orang tahu, aku adalah seorang anak yang pendiam dan sering menyendiri serta bermain sendiri. Orang-orang mengganggapku anak yang senang melamun sendiri. Merenung sendirian dan senang menatap langit, melihat ke langit yang gelap penuh bintang.
“Entah apa yang dipikirkan anak itu, aku kasihan melihatnya” sang nenek berkata kepada sang kakek.
“Biarkanlah dia, dia akan baik-baik saja, tidak apa-apa nek.” Jawab si kakek menenangkan hati sang nenek.
“ Dia anak baik, seorang anak yang baik dan penurut serta sabar tanpa banyak keinginan apalagi tuntutan” Sang nenek menghela napasnya mencoba ikhlas.
“Aku lihat dia hanya bisa tertunduk dan terdiam membisu tanpa berkata apa-apa.”
“Tidak mengapa nek, nanti juga main lagi dia…” jawab si kakek mencoba menenangkan.
Aku mendengar percakapan mereka. Aku sadar tak ada juga yang dapat kulakukan.
Aku memang hanya terdiam dan hanya membisu….
Tiba-tiba nenek datang menyentuh dan menepuk pundakku dan menegurku.
“Kaget ya Insan?”
“Iya, nek.” Jawabku pendek, sambil merunduk diatas sebuah batu besar yang berasal entah dari sungai mana.
Aku tatap wajah sang nenek yang sudah tua. Sang nenek walaupun sudah tua namun masih terlihat jelas aura kecantikan si bunga mawar yang dulunya pernah menjadi kembang desa. Sang nenek, berkulit putih, bermata ikhlas dan bersih serta memiliki tangan yang lembut.
Aku senang bersama sang nenek dan sering memeluknya dengan erat.
Kasih dan sayangnya sangat terasa masuk ke dalam hati dan jiwaku.
Menerima jawaban pendek dariku, diapun segera berlalu. Beliau sepertinya hanya ingin memastikan, bahwa aku, cucu kesayangannya baik-baik saja.
Terlihat dari kejauhan beliau masih sibuk dan masih harus membujuk sang ibunda untuk lebih pasrah dan ikhlas dalam menerima kematian sang anak, yang tidak lain adalah cucunya juga.
Akupun tak ingin memperpanjang pembicaraan, karena belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Aku sendiri tak berani mendekat, hanya memandang sang ibunda dan keluarga lain dari kejauhan di sudut depan luar rumah.
Aku kembali duduk diatas sebuah batu besar, sambil mengira-ngira apa gerangan yang sebenarnya sedang terjadi sehingga sang ibu baru saja menangis histeris hingga terdengar sampai keluar rumah dan mengagetkan semua tetangga.
Rumah kakek jadi penuh sesak dengan banyaknya orang yang berdatangan. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi.
Yang aku tahu dengan pasti, itulah tangisan pertama yang terdahsyat yang pernah kulihat.
Senja itu, adalah sebuah senja yang tak terlupakan hingga aku beranjak tumbuh dewasa nanti. Aku lalu mengambil sebuah buku…

Comments

Popular Posts