Sang Jodoh (Novel Ayat Cinta Sang Pujangga)
“Cinta itu suci dan tak terlihat, tapi
hasilnya akan terlihat nyata.”
“ Cinta itu membangun keindahan dunia bagai
surgawi yang sejati”
“Cinta
itu bagai lautan semesta alam, luas dan tak terlihat namun terasa ke dalam jiwa
yang paling dalam”
“Jika engkau telah menemukan cinta, walau
sulit, hidup akan berubah dengan damai, indah dan bahagia”
Subuh menjelang, setelah
mandi dan sholat subuh aku menyalakan mobil dan berangkat ke kampus yang
jaraknya sekitar 30 kilometer dari Tangerang ke Jakarta Timur. Melewati
beberapa wilayah, Ciledug, Kebon Jeruk Kebayoran, Semanggi, Kuningan,
Casablanca Jakarta Pusat, Pramuka hingga jembatan tol Cawang. Jika ada uang
lebih maka aku lebih cepat mengambil tol Tangerang Jakarta dan turun di exit
tol Cempaka Putih.
Impianku untuk menjadi
sarjana, setiap hari selalu menggebu, makanya aku usahakan tiba di kampus lebih
cepat dari jadwal sehingga aku juga masih sempat sholat dhuha di masjid kampus
sebelum memulai jadwal kuliah. Setelah sholat aku menuju kelas. Di dalam kelas
belum ada siapa-siapa, hanya terlihat seorang petugas kebersihan sedang
membersihkan lantai dan meja.
Mendadak seorang teman
yang berpakaian bagai seorang model peragawati dan berparas cantik menegur.
“San, nanti duduknya
bareng yah…soalnya aku nga belajar nih” ujarnya ketakutan, karena ujian akan
segera dilaksanakan.
“Emang kamu nga
belajar?” ujarku penasaran.
“Iya nih, soalnya aku
sibuk shooting terus….loe tau kan gue…” Jawabnya sambil tersenyum ramah.
Sang teman memang adalah
seorang artis yang baru mulai debutnya di dunia film dan juga seorang model
iklan beberapa produk laris, jadi wajar kalau selalu sibuk terus. Aku memaklumi
kesibukannya, tapi tidak alasannya.
Tepat jam 08.00, dosen
telah datang. Dan para mahasiswa diminta duduk acak dan terpisah.
“Pagi semuanya….!!”
“Pagi paaaakk…” jawab
kami serempak.
“Semua sudah belajar kan
yah?....Tolong semua tas dikumpulkan didepan kelas. Dan duduknya acak dan
saling berjauhan. Yang dibelakang sana, tolong kedepan duduknya!! Dan yang di
depan duduknya tolong ke belakang…!!! Perintah sang dosen dengan tegas.
“Marini…… Marini…..”
Tiba-tiba dosen mengucapkan nama sang artis.
“Ada apa pak….?” Sang
artis bertanya ketika namanya dipanggil oleh sang dosen manajemen.
“Hmmmm…oh tidak apa….”
“Tapi bapak kok,
manggil-manggil nama saya pak…?” Tanya Marini manja…dan tersenyum menggoda.
“Ohhhh…Marini….Marini.
Seandainya semua mahasiswa secantik kamu, pasti aku akan senang sekali datang
mengajar.” Kata dosen yang dikenal selalu tampil rapi dan klimis itu.
“Huuuuuuuuuuhhhhhhhhh…….uuuhhhhh.”
“Eeeeeeeeeeeehhh bapak…..” terdengar sahutan riuh dari seluruh kelas…..
Sang artis yang dipuji,
langsung memerah pipinya namun tersenyum ramah karena disanjung oleh sang
dosen.
“Sudah…sudah. Semuanya
tenang!!!”
“Semuanya bersiap-siap
untuk ujian 5 menit lagi ya. Ujian ini
“close book” dan tidak ada yang boleh menyontek yah!!!” Sang dosen mulai tegas.
Kelaspun langsung
bergegas dan bersiap-siap.
Teman-teman yang tidak
belajar, karena sibuk main dan bergaul akhirnya menurut sambil bersungut,
karena tak bisa menyontek dan bekerja sama dalam ujian. Aku hanya tersenyum,
melihat kedongkolan mereka. Aku berharap suatu hari mereka sadar agar lebih
semangat lagi dalam belajar untuk dirinya dan untuk Indonesia.
Ketika selesai ujian,
sambil mendongkol sang artis mengajakku untuk makan siang.
“San, makan siang ke
mall yuuk, jangan di kantin mulu. Aku bosan makan dikantin….”
“Maaf banget yah sis…..
Soalnya aku harus langsung balik takut macet..apalagi sekarang hari jumat. Pasti
padat banget dari Jakarta ke Tangerang.”
“Yahhh…ok deh” jawabnya
sambil tersenyum. “Gue balik juga deh yah….kalo gitu.” Dia pun berbalik badan
dan pergi meninggalkanku sendiri.
Sepertinya beliau ingin
menjalin hubungan dengan baik, tapi aku menutup diri karena tahu pergaulannya
sangat tinggi dan “high class” tentu aku tidak sanggup mengikutinya dengan
kondisi keuangan yang serba pas-pasan.
Aku dan teman-teman
lainnya yang se”level”, langsung menuju ke seberang jalan dan mencari makanan
yang paling murah yaitu ketoprak pinggir jalan kampus yang berada dekat selokan.
Saat kuliah, kebersihan sudah bukan yang utama yang penting harga murah tapi
kualitas kekenyangan maksimal.
Hari berikutnya,
kegiatan kuliah berjalan seperti biasa. Namun hari ini ada yang berbeda. Ayah
menggandeng sosok wanita cantik bagai ratu kecantikan. Sang ayah yang baru
mendarat dari bandara memboyong dan memperkenalkan sang wanita sebagai calon
istriku. Aku yang masih kuliah tidak dapat menemaninya untuk jalan keluar jadi
aku bawa ke dalam kelas. Seluruh kelas heboh dan berteriak histeris kedatangan
seorang ratu kecantikan yang menggoda semua.
“Huuuuuuuuuuuuuu……”
Teriak seisi kelas sambil memukul mukul meja seolah kaget, senang dan
terperanjat.
“hei San…itu siapa?
Tanya sang sahabat yang bertubuh gempal.
“Ohhhh itu, wanita yang dijodohkan oleh ayah…”
jawabku singkat.
“Wahhhhhh gila loe….San.
Beruntung banget loe jadi orang……Kalo gua tuh langsung gua kawinin tau!!!
Jawabnya bersemangat.
“Jangan gitu dong. Gua
kan baru kenal dekat sekarang-sekarang ini. Baru mempelajari cocok atau nga ama
gua nantinya. Aku kan butuhnya yang sholehah dan yang bisa menjadi ibu yang
baik untuk anak-anaku kelak” Aku mencoba menenangkan.
Aku dan sang ratu berjalan
keluar dari kelas, tidak jadi belajar karena suasana kelas menjadi sangat riuh
dan tidak kondusif lagi.
Sesampai di rumah, aku
berdiskusi dengan sang ayah.
“San, ayah ingin kamu
menikah pas setelah kamu lulus sarjana nanti”
“Iya ayah, tapi kan aku
belum punya pekerjaan”
“Gampang itu, nanti jika
sudah menikah, rezeki akan datang sendiri” jawabnya yakin.
Aku dan sang ratupun
mencoba jalan bersama, saling mempelajari kecocokan pribadi masing-masing.
Kehidupannya yang mirip artis dan model terkenal, membuatku risih dan kurang
nyaman. Sang ratu kecantikan menyukai makan di restoran mahal dan tak bisa kena
debu dan asap serta panasnya kota Jakarta.
Aku yang hanya suka
sesuatu yang sederhana dan apa adanya. Aku mulai merasa ada yang tidak cocok
dengan hubungan perjodohan ini.
Aku mulai memprotes
tentang perjodohan ini yang aku anggap sudah bukan jamannya lagi memaksakan
kehendak orang tua yang hanya melihat sisi penampilan luar saja.
“Ibu, tolong beritahu
sang ayah, agar membatalkan pernikahan ini….”bujukku pada sang ibu.
“Ibu akan usahakan, tapi
kan kamu tahu bagaimana bapak mu itu….Dia nga boleh ditentang dan harus
dituruti semua keinginannya…”Jawab ibu mencoba menjelaskan.
“Tapi aku merasa kurang
cocok dengan cara hidup dan pergaulannya yang glamour…”
“Sudahlah. Jadi anak
nurut aja sama orang tua….”Ibu mulai tegas. “Lagipula diakan anaknya baik,
model, dan juara ratu kecantikan….”
“Tapiiii…….” Aku mencoba
menjelaskan, tapi tertahan. Tidak tahu harus berkata apa.
“Begini aja. Besok kamu
menjemputnya dan mulai pendekatan siapa tahu nanti lama-lama kamu cocok juga.”
Ibu mencoba membujuk.
“Baiklah, besok aku akan
jemput dia di kantornya!!!” Sang model memang telah diterima kerja di
perusahaan BUMN. Dia sangat mudah diterima melihat penampilannya yang menarik
dan otaknya yang cerdas, maka wajar dia menjuarai pemilihan kecantikan se
Indonesia.
Tiba di kantornya, aku
menunggu 2 jam hingga jam kantor tutup. Namun aku terperangah, ketika jam 18.00
melihat sang model berjalan ke sebuah mobil yang sedang parkir di depan kantor.
Sepintas ada seorang lelaki yang kukenal telah menjemputnya. Pria yang selama
ini digossipkan telah menjalin hubungan dekat dengannya ternyata benar adanya.
Dengan perasaan kecewa
karena merasa telah dikhianati, mobil aku kebut balik ke rumah dan menyampaikan
apa yang aku lihat.
Orang tua yang terlalu
yakin dan percaya, akhirnya marah besar.
“Appaaaaaa….? Dia
selingkuh…!!!. Ini nga bener. Nga bagus seorang wanita berhubungan yang bukan
tunangannya!!!!!”
“Pertunangan ini harus
kita batalkan!!!” Jawab sang ibu marah.
Sang ayah yang mendengar
kemarahan ibu, hanya bisa pasrah dan setuju.
“Baiklah, San. Kamu
boleh tidak menikahinya. Tapi kamu harus mendapatkan yang jauh lebih baik lagi
dari pilihan ayah…Jaga nama baik keluarga. Ingat itu!!!”
“Baik ayah….”jawabku
singkat.
Hampir setahun aku
sendiri dan dalam keadaan tertekan sendiri. Keadaanku semakin lama semakin
galau dan semakin kacau. Aku merasa tidak berharga dan merasa kurang percaya
diri.
Aku lalu menorehkannya
dalam syair…
Telah lama kusendiri.
Berteman dengan sepi.
Tiada yang menemani.
Dari pagi hingga pagi.
Wajahmu kurindukan
Hingga kubawa dalam gambar
Goresan gambar yang selalu sama
Hingga malam menjelang
Kulihat matamu yang indah.
Bagai mutiara yang kuimpikan.
Kulihat senyummu yang meriah.
Pertanda harikan selalu ceria.
Hanya ada senyum dan tawa.
Sedikit amarah atau tangisan.
Berpikir logis dan tanggap.
Pandai dan komunikatif.
Kitab yang terlihat
Selalu digenggam dalam dekapan
Selalu dibaca dan didendangkan
Hingga malam menjelang.
Akhlak mulia selalu terlihat.
Empati menunjukkan simpati.
Ibadah tiada henti.
Kala senja hingga pagi.
Pengorbanan tiada henti.
Tanpa takut termanfaatkan.
Berani dan percaya diri.
Tulus dan apa adanya.
Inikah tandaNya.
Tiada hari tanpa rindu.
Tiada hari tanpa ingin bersama.
Hingga suatu masa.
Mimpi di tengah malam.
Sang bidadari mengajak masuk.
Ke rumah berpanggung.
Bertemu sang nenek.
Tuk mencari kasih sejati.
Kasih dan rahmatNya.
Yang terpancar dalam dirinya.
Selalu terjaga dan lestari.
Walau waktukan berhenti.
Suatu hari, aku sedang
menyetir mobil melewati kompleks menuju Jakarta. Di jalan aku lihat seorang
teman sedang berjalan kaki. Aku langsung menawarkannya untuk naik kedalam
mobil.
“Bro…pa kabar?....Yuukk
bareng aja” ujarku mengajaknya naik keatas mobil.
“Ehhh Insan,
alhamdulillah…Siap bro…” ucapnya langsung menunduk dan masuk ke dalam mobil.
Kami mengobrol santai
kehidupan kita masing-masing, hingga aku berkisah tentang batalnya
pernikahanku. Dia menawarkan bantuan dan beberapa calon yang dia kenal, dan
mengajakku untuk mengenal salah satunya.
“Bro….kalo menurut gua, loe
coba aja “taaruf” dulu. Mana tahu ada yang cocok….”
“Baiklah bro….kebetulan
gua lagi kecewa berat nih….Aku rasanya tak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup”Aku
mulai membuka diri agar ada harapan.
Kamipun berangkat ke
rumah sang wanita untuk berkenalan.
Pada saat datang aku
tidak memiliki perasaan apa-apa, semuanya berjalan wajar apa adanya. Masih ada
rasa sedih dan kecewa yag dalam. Teman-teman yang ikut bersama kami, turut
senang bersilaturrahim ke rumahnya.
Tiba di rumah, akhirnya
sang wanita keluar sambil membawa sebuah buku.
Sepertinya dia sedang
belajar dan membaca sebuah buku dari fakultas kedokteran.
Sepintas, wajahnya
terlihat bercahaya, putih dan cerdas serta mandiri.
Aku yang menatapnya
secara sembunyi-sembunyi menyimpan rasa kagum akan tampilannya yang ayu, polos
dan sederhana. Wanita khas Indonesia banget.
“Seandainya dia mau jadi
istriku, pasti aku akan sangat senang dan bahagia sekali…”
Aku berdoa dalam hati….
Sang wanita mirip dengan
sketsa wajah yang sering aku gambar di buku harianku bahkan sejak aku masih SD.
“ Tapi…apakah wanita ini mau denganku….?”
Entahlah.
Aku jadi sedikit ada rasa
kurang percaya diri, sejak aku merasa dikhianati.
Malam itu, aku hanya
diam membisu, sambil menatapnya dalam-dalam.
Memang. Wajahnya
bagaikan rembulan di kegelapan malam.
Sang wanita terlihat
duduk tegak dengan gaya yang elegan, cerdas dalam berkomunikasi dan sangat
mandiri.
Semua teman hanya
ngobrol santai satu dengan lainnya dan tertawa bersama serta tak menghiraukan
rasa yang mulai ada dalam diriku.
Aku tak berbicara
dengannya. Aku hanya bersalaman dan menyimpan frekuensi hati yang belum
menyala, masih beku dan trauma dengan kegagalan cintaku.
Setelah beberapa saat
berkenalan dan mengobrol santai, kamipun pamit pulang ke rumah masing.
Di rumah, aku kembali
mengingat janjiku kepada orang tua, untuk menemukan jodohku yang sesuai dengan
keinginan mereka, yaitu wanita yang cantik, sholehah, cerdas dan mandiri.
Aku pikir wanita tadi
adalah salah satu kandidat terbaik. Aku mulai berdoa, agar bisa kembali
dipertemukan dengannya agar bisa menikahinya suatu saat nanti. In Sha Allah…
Beberapa hari telah
lewat bahkan sudah beberapa minggu tak bertemu sejak pertemuan malam itu.
Hari itu, aku dan teman
baru selesai kuliah dan aku ingin membantunya untuk mengantarnya sampai ke
rumahnya. Matahari hari itu seakan sangat bersemangat memancarkan sinarnya.
Panasnya hingga masuk ke dalam mobil yang kami kendarai.
Mendadak mobil berjalan
pelan karena di dekat lampu merah ada sedikit kemacetan.
Sekilas, aku melihat
sosok wanita yang sedang duduk diatas angkot (mikrolet) yang sedang menuju dari
kampus universitas Indonesia ke wilayah rumahnya.
Wanita itu sedang
menunduk membaca buku diatas angkot yang sedang berjalan.
“ehhhhh….itu kan wanita
yang kita temui malam itu San…”Sang sahabat yang ada disamping menyentuhku,
seolah tak percaya.
Aku yang sedang
menyetir, mengiyakan dan langsung mengejar dan membuntuti si angkot (angkutan
kota). Dan ternyata benar, wanita itu memang yang kita temui kemaren. Mobil
angkot yang berjalan meliuk dan berliku masuk ke jalan-jalan sempit dan padat.
Aku berusaha membuntutinya.
Di persimpangan jalan
dekat pasar. Tiba-tiba sang wanita turun dari angkot, akupun dengan sigap
berhenti dan turun ke jalan. Sambil membuka pintu mobil aku berusaha memanggil
nama sang wanita. “Putri……” aku memanggil penuh harap.
“Oh iya….” Sang putri
menoleh.
“Ingat aku nga yah……”
aku mencoba mengingatkan.
“Siapa yah…..????”
“Aku yang malam itu
silaturrahim ke rumah…..” aku mencoba menjelaskan.
“Ohhhhhh….iya.” jawabnya
sambil mencoba mengingat-ingat.
“Namaku Insan….”
“oh iya Insan…..aku
ingat sekarang” jawabnya tersenyum ramah.
“Boleh aku antar sampai
depan rumah???” Aku mencoba menawarkan bantuan.
“Ohhhh nga usah. Udah
deket kok ini….”jawabnya sambil berjalan pelan.
“Kalo gitu boleh aku
tahu nomer teleponnya….”mintaku penuh harap.
“Oh boleh aja…..” sambil
menyebutkan nomer teleponnya.
Aku langsung dengan
cepat menyimpan nomer teleponnya di handphone yang aku pegang dari tadi dan
mencatat nomernya dengan pasti.
“Kapan-kapan, aku
telepon yah…”kataku sambil beranjak pergi meninggalkannya berdiri di depan
pintu rumah.
“Ok…..daaaaaahhhh”
jawabnya santai sambil mengangkat tangannya dan melambaikannya.
Minggu depan aku akan
segera diwisuda. Aku menelponnya untuk memastikan apakah sang Putri ingin
menemaniku ke gedung Jakarta Convention Center.
“Halo…Putri…..” aku
menelpon sang putri.
“Oh iya
halo…..”jawabnya.
“Apa kabar?”
“Baik, sehat
alhamdulillah. Kamu gimana kabar?” Putri balik bertanya.
“Alhamdulillah
sehat….” Ini aku hanya ingin mengajak
untuk hadir menemaniku di acara wisudaku minggu depan. Kira-kira kamu mau nga
menemani….?” Aku berusaha membujuknya penuh harap.
“Hmmmmmm wisuda
yah…..wah selamat yah….Akhirnya sarjana juga. Heeeee….”
“Oh iya dengan senang
hati doooong…..”jawabnya riang.
“Alhamdulillah…..kalo
gitu subuh pas tanggal itu aku jemputnya yah….kita ke acara wisuda.”kataku
sambil melompat kegirangan.
Hatiku sungguh senang
dan berbahagia. Betapa tidak kuliahku yang sempat terbengkalai sekarang sudah
didepan mata telah selesai dan sebentar lagi diwisuda. Dan syukur alhamdulillah
sudah aku temukan juga seseorang yang mau mendampingiku saat wisuda nanti
bersama kedua orang tua tercinta. Hadiah yang luar biasa dari perjuangan meraih
pendidikan dan ridho orang tua.
Satu mimpi terbesarku
tercapai….meraih gelar sarjana untuk orang tua tercinta.
“If we can dream it, we
can write it. If we can write it, we can draw it, if we can draw it, we can see
it, if we can see it we can make it.” Saat melihat sebuah kutipan ini di blog
aku menjadi semakin bersemangat mengejar mimpi.
Di gedung Jakarta
Convention Center sudah mulai ramai oleh para wisudawan dan orang tuanya yang
mengantar. Aku dan sang putri masuk dengan pelan bersama orang tua. Setelah
menunggu lama, maka tibalah giliranku dipanggil. Aku langsung tersenyum dan
beranjak ke panggung. Di kejauhan aku lihat orang tua tersenyum bahagia serta
terharu sambil ditemani oleh sang kekasih hati.
Setelah selesai acara
wisuda, kami berempat menuju restoran dekat gedung, dan mengadakan acara
syukuran atas nikmat dan karuniaNya.
Sepertinya, sang ayah
dan ibu menyetujui dengan pilihanku dengan sang putri yang mandiri. Mereka
terlihat sudah sangat akrab dan saling menghargai. Aku mengetahui dari sikap
dan perilaku mereka.
Akhirnya dengan tekad
kuat, aku berusaha untuk melamarnya agar bisa menemaniku tidak hanya di acara
kesuksesanku tapi juga disepanjang hidupku.
Ibu terlihat
mengeluarkan sebuah cincin dari dalam tasnya, dan memberikannya kepadaku dengan
sembunyi agar tak terlihat oleh sang putri.
“Ayah, aku akan segera
melamarnya…sambil menerima cincin.”aku berbisik kepada ayah.
Sang ayah yang mendengar
mengangguk tanda setuju dan ibupun terlihat senang mendengarnya.
“Lakukan yang terbaik
untukmu nak, ibu tahu kamu bisa….dan mampu.” Ibu memotivasiku sambil menepuk
pundakku.
Aku memulai
pembicaraan….
“ Ayah, ibu dan Putri.
Alhamdulillah aku bersyukur pada hari ini dapat menyelesaikan tugas dari orang
tua untuk menjadi sarjana. Dan aku juga tak lupa mengucapkan rasa terima kasih
yang mendalam atas segalanya kepada ayah ibu yang selama ini terus mendukung
dan membantuku. Ayah ibu…sekali lagi. Terima kasih banyak atas segalanya….” Aku
langsung mencium tangan ayah dan ibu.
‘Aku berjanji akan
berusaha membalas kebaikan ayah ibu dengan selalu patuh dan taat serta berusaha
untuk hidup sukses dan mandiri.” Aku mulai terharu….
“Dan di hari yang
bahagia ini, aku juga melamar sang kekasih untuk dijadikan tidak hanya
pendamping wisuda saat ini, tapi juga menjadi pendamping hidupku untuk selamanya.”
Aku berkata pelan sambil mengeluarkan sebuah cincin emas dari tempatnya dan
memberikan kepada sang kekasih.
“Bagaimana….Putri.
Apakah Insan diterima lamarannya? Ayah mulai tak sabaran bertanya.
Beberapa saat waktu
terasa berjalan sangat lama, menunggu jawaban sang kekasih hati.
Saking lamanya, jantung
ini terasa detakannya sehingga tangan ini mulai mengeluarkan keringat, menanti
jawaban.
“Hmmmmmmm…….iya aku
setuju…..” Jawabnya sambil tersenyum malu.
“Alhamdulillah….diterima!!!!
Semua bersorak.
“Ayoooo semuanya kita
ayo makan lagi…?” Kata sang ayah.
“Oh iya….Tapi aku harus
menanyakan dulu kepada orang tuaku, beliaulah yang punya hak atas diriku” Jawab
si Putri lugas dan mandiri.
Mendapatkan jawaban itu,
aku tersenyum bahagia.
“Oh iya, tidak apa-apa.
Mudah-mudahan beliau merestui…”Jawabku sambil memegang tangannya yang lembut.
Tinggal selangkah lagi
aku akan memohon restu orang tuanya dan melangkah ke pelaminan. Aku bersyukur
semua dimudahkan oleh Allah untuk menemukan sang jodoh. Jodohnya yang aku cari
selama ini.
Pernikahan dimulai
dengan perencanaan yang cepat dan matang, kami berdua dengan bersemangat
menyiapkan semuanya agar berjalan dengan baik dan menjadi kenangan indah tak
terlupakan.
Tunanganku yang lama,
ternyata mengetahui rencana pernikahanku. Dia mulai berusaha untuk membuatku
menyesali apa yang telah aku lakukan. Dan beberapa kali mengajakku untuk
membatalkan rencana pernikahan dengan sang Putri.
Tapi aku dan sang
kekasih telah merasakan ada kecocokan, saling
mencintai dengan tulus dan ridho atas nama Allah. Aku bersyukur telah menemukan
jodohku dengan cara yang tidak biasa dengan cara yang tak disangka. Memang, semua
ada di tangan Allah sang pemegang rahasia.
Namun, dimalam itu.
Mendadak sang kekasih menelpon dan marah kepadaku karena mendengar fitnah dari
seorang teman yang iri kepadaku. Sang putri menganggapku telah mengkhianati
cintanya.
“Insan, apa yang telah
kamu lakukan….hahhh?” Teleponnya sedikit emosi.
“Ada apa…..yah. Aku nga
ngerti…?” aku bingung bertanya.
Sang kekasih malah diam
dan telepon langsung ditutup tanpa ada jawaban.
Aku terperanjat dan
kaget, apa sebenarnya yang telah terjadi. Sepertinya ada yang telah menyebar
fitnah keji kepadaku. Aku langsung bergegas ke mobil dan menuju ke rumahnya
untuk memastikan apa yang sedang terjadi.
Benar saja, di rumah aku
menemukan sang kekasih dengan wajah marah kepadaku, sambil melemparkan sebuah
cincin tunangan ke dalam mobil.
Cincin itu sangat
berarti bagiku. Karena cincin pusaka warisan dari sang nenek, yang khusus
diberikan kepada orang tercinta.
Aku yang baru saja tiba,
heran dan kaget dengan kejadian ini. Menerima perlakuan yang kurang sopan, aku
malah balik marah dan langsung pergi meninggalkan sang kekasih., sambil
memungut cincin yang telah aku berikan di hari pertunangan.
Tanpa berkata apa-apa. Aku
langsung masuk ke dalam mobil dan mengebut kendaraan, tancap gas serta segera
pergi entah kemana.
Sambil menangis, aku
menyetir kendaraan.
Bingung dan tak
menyangka kejadian ini akan terjadi. Pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi
digelar mendadak aku batalkan.
Aku merasa cincin yang
dilemparkan sebuah penghinaan besar. Maka aku membalasnya dengan tindakan yang
sama. Aku kecewa. Aku marah. Aku sedih.
Esoknya telepon dari
sang kekasih masuk.
Aku dengan rasa malas,
mendiamkannya.
Tapi telepon itu terus
berdering hingga 7 kali…
Aku kemudiaan
mengangkatnya dengan kesal.
“Ada apa lagi
sekarang?...
“Kamu puas dengan
kelakuanmu yang menyakiti perasaanku…. Iya? Aku melampiaskan kekecewaan.
“kamu kok mendadak
begitu?” aku bertanya tak menyangka kejadian kemaren.
“Maaaaff……aku telah
salah sangka…..kepada kakak” kata sang kekasih dibalik telelpon.
“Maaaaaf katamu….????
Enak aja….” Aku malah makin marah.
“Iya kak……maaf
yah….pokoknya buruan kesini yah dipanggih sama abah.”
“Aku nga mau…..!!! Aku
masih menyimpan kecewa dan marah tapi sudah mulai agak tenang….
“Tolonglah kak…..aku
telah dinasehati dan malah kena marah sama abah”
“Tolonglah…..kembali….dan
datang kesini sekarang….”pintanya memelas sambil menangis tersedu-sedu.
Aku terdiam sejenak.
Akupun sebenarnya masih sayang sama dia. Aku tidak tega mendengarnya menangis.
Aku sedih…
“Baiklah…..aku segera
kesana bertemu Abah”jawabku tegas.
Dalam hati aku marah,
tapi ada perasaan lega juga. Dipanggil untuk mendapatkan penjelasan atas semua
ini. Jadi aku memutuskan untuk ke rumah sang kekasih saat itu juga dan
membereskan masalah ini.
Setiba di rumah sang
kekasih, ternyata Abah tidak sedang di rumah karena sedang ke masjid untuk
sholat maghrib. Aku yang terlambat untuk sholat hanya terdiam menunggu di ruang
tamu.
Sang kekasih yang merasa
bersalah, malah mengajakku untuk sholat berjamaah.
“Kak Insani. Sholat
jamaaah yuuk, ini sajadahnya.” Sambil tersenyum ramah dengan mengenakan pakaian
sholat muslimah. Matanya terlihat sembab dan hidungnya memerah.
Aku yang tadinya marah
besar mendadak hilang marahnya, melihat sang kekasih memakai pakaian sholat
bagai bidadari yang turun dari surga. Ada rasa penyesalan mengapa aku harus
menyia-nyiakan kekasih yang sholehah ini?
“Baiklah….kita sholat
jamaah yuuuk ajak ibu sekalian ya.” Aku mengajak ibunda, sambil menuju tempat
wudhu.
Didalam sholat, aku
merasa sangat damai dan tenang dengan adanya makmun yang sholeh dibelakangku.
Seakan aku telah menjadi
imam untuk hidupnya di masa depan.
Dalam hati aku berdoa….
“Ya Allah, jika dia adalah jodohku maka
permudahkanlah jalanku untuk menikahinya. Aku mencintainya ya Allah dan akan selalu menjaga dan menemaninya sepanjang
hidupku. Berikanlah petunjuk dan jalanMu yang terbaik. Aaaamiin ya rabb… Al
fatihah…...”
Sholat jamaah bersama
sang wanita hati adalah momen paling romantis dan terindah yang pernah aku
rasakan. “Sholat itu powernya sungguh
luar biasa…Dia mampu merubah benci menjadi cinta, marah menjadi sayang.”
Saat kami sholat itulah
serasa kami berada dalam taman surga dengan jalur yang benar menuju ridhoNya
untuk mencapai tingkatan takwa yang sesungguhnya dalam jalinan hubungan
pernikahan yang suci.
Setelah sholat, giliran
aku yang meminta maaf kepada sang kekasih.
“Maaafkan aku juga yah
dek…., yang telah membatalkan pernikahan ini…” Aku berkata dengan perasaan
bersalah. Aku berusaha berdiri dengan tegar.
“Sama-sama kakak…..aku
juga minta maaf….”jawabnya sambil menangis dan tertunduk.
Akhirnya, setelah
menemukan momen pencerahan. Kami sepakat untuk tetap melanjutkan pernikahan
yang telah direncanakan semula.
“Assalamu alaikum….”
Sang abah mengucapkan salam dan masuk kedalam rumah.
“waaalaikum salam” jawab
kami.
“Ohhhhh Insani….kapan
datang…..???” Katanya mencoba ramah dan memulai pembicaraan seolah-olah tak ada
masalah.
“Iya Abah, baru
saja.”jawabku singkat.
“Semuanya lancar dan
baik-baik aja kan yah? Tanya Abah memastikan.
“Ohhhh iya Abah….semuanya
lancar dan baik-baik saja. Rencana pernikahan bulan depan kita sudah rencanakan
dengan baik dan akan kita laksanakan di sebuah masjid yang megah dan
bersejarah.
“Alhamdulillah……semua
karena rahmat dan karunia Allah. Selamat yah nak….Abah hanya bisa mendoakan
yang terbaik untuk semua….” Dia berbicara dengan tulus dan bijak.
“Aaaamiin ya Allah.” Aku
memberi jawaban dengan yakin.
“Baik abah, aku pulang
dulu yah, mau mempersiapkan semuanya agar tetap berjalan baik dan lancar.”
“Iya….silahkan. Abah
juga akan mempersiapkan semuanya dan selalu mendoakan semuanya.”
“Terima kasih Abah……Assalamu
alaikum….”sambil mengucap salam aku memandang sang bidadari cinta yang masih memakai
mukena putihnya. Sang pujaan hati dan jiwa terlihat berbeda, dia bukan lagi
terlihat seperti manusia umumnya tapi bagai malaikat cinta suci. Sembari keluar
dari pintu rumah aku mencium tangan abah dan meninggalkan rumah. Dan langkahku
kini terasa sangat ringan dan mudah….semudah air sungai yang mengalir jernih
dari mata air pegunungan.
“Cinta yang telah
direstui orang tua, bagaikan ridho Allah yang tercurah dari langit. Semua
menjadi indah, damai dan sempurna. Bagai hidup di surga, sebelum surga yang
sebenarnya”
Kami dengan senyum
bahagia, melangkah ke gerbang masa depan yang terbuka bagai cahaya yang
memancar. Menyusuri jalan berdua, bergandengan tangan dan tertawa bersama,
karena hati dan jiwa telah kembali menyatu seutuhnya.
Di masjid yang suci,
kami mengikrarkan janji suci untuk saling mencintai karena Allah. Masjid ini
adalah masjid yang bersih dan megah bernuansa mirip masjid Madinah. Niatku
sekaligus ingin ke masjid Madinah makam rasulullah sekalian umrah bersama sang
kekasih jiwa. Saat masuk masjid aku membayangkan sedang berada di Madinah
bersama sang calon istri.
“Ya Allah…kabulkan ya Allah” aku berucap berulang
kali.
Didalam masjid terlihat semua
sudah teratur dengan baik dan siap mengadakan acara ijab qabul. Disiu terlihat
telah tersedia perlengkapan menikah, sebuah meja dan sajadah membentang di atas
karpet yang bernuansa hijau.
Semua terlihat tegang
namun senang. Sambil beberapa ibu-ibu sedang mengobrol santai, sedangkan
beberapa bapak-bapak terlihat sibuk mondar mandir mempersiapkan segala
sesuatunya. Setelah bacaan quran dan ceramah tentang pernikahan, sang penghulu
mencoba menjelaskan aturan dan kaidah-kaidah pernikahan sebelum acara ijab
qabul dimulai. Para saksi mengambil tempat yang telah disediakan dan duduk
berdampingan disebelah sang penghulu. Abah berinisiatif untuk menikahkan
sendiri sang anak kesayangannya. Dia duduk dihadapanku dan mengulurkan
tangannya kepadaku dan kubalas dengan jabatan tangan yang erat, sambil
memandang wajahnya yang tenang. Dia berdoa dalam hati lalu berucap
“Dengan ini, aku
nikahkan engkau Muhammad Insani bin Akbar dengan Putri Ramadan bin Wahyu Sofyan
dengan mas kawin emas dan seperangkat alat sholat tunai karena Allah.”
Aku yang sudah latihan
lama, dengan cepat menjawabnya
“Aku terima nikahnya
Putri Ramadan bin Wahyu Sofyan dengan mas kawin tersebut. Tunai..!!”
Sorak para keluarga yang
hadir berteriak….
“SAH!!!”
“Alhamdulillah.” Ucap
sang penghulu.
Semuanya tersenyum
bahagia, mengetahui proses pernikahan berjalan dengan damai, hikmat dan lancar.
Para pengambil gambar
tampak sibuk mengabadikan momen yang tak terlupakan.
Mempelai wanitapun
akhirnya dipanggil untuk duduk berdampingan denganku dihadapan sang penghulu.
Lalu kami diminta untuk menandatangani perjanjian surat nikah di buku nikah
lalu kami tunjukkan pada semua yang hadir sambil diabadikan oleh sang
fotografer.
Dan kamipun resmi
menikah dan menjalani lembaran hidup baru bersama dengan senang dan bahagia.
Aku mulai “flashback”
tentang tulisan dan gambar yang aku buat ketika masih kecil di sebuah buku
“hidup” yang kusimpan, sekarang dengan perlahan mulai terungkap dengan nyata.
“Sang malaikat” kini
kembali berseru.
“Bermimpilah, ikuti sang hati, ikuti sang
jiwa, ikuti jalanNya.”
“Berhenti mengeluh, berhenti membisu, berhenti
membuang waktu, berhenti membuang nafsu.”
“Bangun sang jiwa kembali, bangun sang badan
bergerak, bangun jari dan kaki bumi, menuju impian sejati.”
“Sang waktu. Waktu hanya soal waktu, pasti
habis dan berlalu. Dia akan tersisa hingga tiada, akan habis binasa, hingga
membangun kembali yang tersisa, berbagi dan berkarya nyata untuk diri dan
diriNya, untuk masa kini dan masa depan.”
Pagi ini aku terbangun
dengan seorang wanita idaman hati yang cantik dan sholehah tidur sambil
tersenyum manis penuh rasa syukur, berterima kasih atas semua yang telah ada.
Berterima kasih atas
waktu dan kesempatan yang diberikan untuk hari-hari bersama kedepan.
Untuk mengubur kemalasan
dan rasa khawatir, aku langsung ke kamar mandi dan mandi dengan kucuran air
yang membasuh tubuh dan fikiranku.
Seketika aku merasakan
kesegaran kembali dan mulai memulai hari yang baru dan menyegarkan sang jiwa.
Aku mulai membuka buku
dan membaca tulisan yang menginspirasi hari.
Aku baru sadar, bahwa saat
ini, aku sudah menikah.
“Hmmmm rasanya ingin
bercinta setiap saat melihat sang bidadari selalu tersenyum manja” ucapku
padanya.
“Kakak…..bisa aja. Kan
sudah halal dan boleh kok kakak….”Jawabnya dengan penuh manja.
“Masya Allah, inikah nikmatMu saat mengikuti
sunnahmu ya nabi Allah” Aku bersyukur dalam hati.
Sedikit demi sedikit
kutarik nafas yang panjang….
Dan melakukan “ritual
ibadah sunnah” yang memberikan keberkahan dan pahala yang luar biasa untuk masa
depan generasi yang lebih baik.
Aku kecup keningnya
dengan lembut, bagai mencium sang hajar aswad.
Aku belai rambutnya
bagai menyentuh aliran mata air dari surgawi. Aku pandang matanya yang
bercahaya bagai cahaya bintang di kegelapan.
Sang diapun tersenyum
dengan bibir merah bagai mawar yang sedang merekah menanti sang lebah untuk
mengambil madunya. Kamipun tidur bersama dan berpelukan dalam rangkaian ibadah
nan suci.
Hari masih pagi, aku ke
kamar mandi dan berjunub lalu berwudhu untuk menunaikan sholat dhuha untuk
memohon rezeki dari Ilahi bagi kami sang keluarga kecil yang masih baru
bersama.
Kesendirianku telah
dihapuskan olehNya. Aku mulai jarang menulis syairNya. Hubunganku denganNya aku
harmoniskan dengan mencintainya sang kekasih. MencintaiNya dan mencintainya ada
wujud dari rasa cinta itu sendiri yang berasal dari zat Sang Maha Cinta dan
Kasih.
Syairku yang pernah
kutulis di sebuha buku hidup, kusimpan sementara di “atas langit” di sebuah
media langit.
“Saat ini, mulai hari ini aku akan berusaha
untuk selalu mencintai sang cinta dan membuatnya bahagia hingga ke anak cucu
keturunanku kelak.” Janjiku pada Zat Maha Cinta.
Dan aku buka kitab yang
sedang menunggu untuk dibuka dan kutemukan kembali yang kucari.
“Tindakan apa yang paling baik? Dengan menggembirakan hati manusia,
memberi makan orang yang lapar, membantu para korban, meringankan kesedihan
yang sedih, dan menghilangkan penderitaan yang terluka”. (HR. Bukhari)
BERSAMBUNG…
Comments