1st Novel Ayat Cinta Sang Pujangga: PROLOG



Hari ini, aku sedang duduk sendiri sambil melihat ke seluruh penjuru laut lepas pantai yang berwarna biru.
Disekelilingku berlimpah hamparan pasir pantai yang bercahaya keemasan, sampai-sampai sinar emasnya yang benderang mampu memantul ke atas langit.
Dengan tersenyum, aku melihat deburan buih ombak laut biru muda dan berwarna putih yang datang silih berganti.
Seketika, aku melangkah kedepan dan tertarik untuk mengambil air laut yang jernih dan langsung kubasuhkan ke seluruh wajah dan lenganku.
Seakan telah bersuci, wajah dan seluruh tubuhku seketika menjadi sejuk dan dingin akibat tiupan angin pantai yang lembut dan sepoi-sepoi, terasa nyaman sekali….hingga tak bisa kutolak untuk tersenyum renyah, senyum tipis tapi terasa….
Iya. Hari ini aku tersenyum bahagia…
Damai, tenang dan bahagia sekali.
Aku tarik nafasku yang panjang, lalu kupejamkan mataku sebentar dan merasakan detak jantung yang bunyinya berirama indah hampir seirama dengan deburan sang ombak…Seakan gerakan ombak ikut terenyum riang bersamaku.
Mendadak, mataku tertuju pada sebuah benda yang terombang ambing di atas lautan.
Aku beranjak dari tempat dudukku, mengambil benda itu dan membuka isinya. Didalamnya terdapat secarik kertas yang tertulis rapi yang ditulis tak bernama. Kertas didalam kaca itu, sepertinya telah melakukan perjalanan jauh dan panjang. Sebuah kata berhuruf besar tertulis 99 DREAM. Dan dibawahnya ada 99 angka dengan impiannya masing-masing bagai syair tentang kehidupan.
Aku membacanya dengan perlahan dan seksama di tengah keheningan pantai. Lalu kertas putih itu, aku masukkan kedalam saku dan kubawa pulang bersama. Tulisan yang berisi impian-impian yang belum terjadi, kubawa pulang ke masa depan.
Samar-samar, aku dengar suara burung walet dan camar bersahutan, seolah menyapaku yang sedang sendiri, larut dalam menikmati waktuku. Mereka mengajakku bermain dan menikmati alam pantai yang berbukit penuh warna hijau nan asri.
Seolah mereka berkata: “bersyukurlah wahai engkau yang sedang  duduk. Bersyukurlah wahai sang jiwa yang sendiri namun tak sepi.”
Suara itu terdengar, namun tidak dengan telinga. Suara yang berasal entah dari mana. Suara frekuensi radio alam yang bergelombang…
“Bacalah alam ini, lihatlah sekelilingmu…”
“Bacalah dan bacalah sekali lagi.”
“Ikuti irama bacaan dan nikmati hidangan yang telah diberikan dari Sang Maha.”
Perlahan, kuperbaiki sikap dudukku dan mulai lebih santai serta lebih sadar.
Maka sedetik kemudian, terbukalah yang selama ini tertutupi. Terbukalah hati dan jiwa melalui mata, telinga dan semua panca indera yang kumiliki. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan.
Maka mulailah aku menulis….menulis keabadian hingga waktu yang ditentukan. Kutulis beberapa kata di hamparan pasir pantai…dengan jariku kubentuk sebuah tulisan dan simbol.
Sebuah kata syair yang tak biasa, yang kuimpikan kata-katanya mampu merubah kehidupanku. Kutulis dibawah langit disaksikan sang lautan dan burung-burung yang sedang beterbangan, dengan rasa yakin dan merdeka. Aku merdeka melakukan apa saja. Aku mulai menerima bisikan “sang malaikat putih” yang terasa mulai mendekat ke sebelahku.
 Akupun mengikuti irama suaranya yang tak terdengar namun terasa nyata dengan frekuensi gelombang yang unik dan berbeda. Syair yang tak biasa…
“Dengan menyebut asmaMu ya Allah. Duhai Dikau Sang Maha Pengasih. Duhai Dikau Sang Maha Penyayang. Duhai Dikau Sang Maha Cinta.”
“Kurindu rahmatMu Ya Allah. Kurindu berkahMu Ya Allah. Kurindu pelukMu Ya Allah. Kurindu kasih sayangMu Ya Allah.”
“Temani aku saat sendiri ini. Temani disaat aku sepi. Temani disaat ku lelah. Temani disaat ku tak berharap pada siapa.”
“Penuhi hidup dengan impian. Penuhi hidup dengan berkah. Penuhi hidup dengan cinta. Penuhi hidup dengan bahagia.”
“Panggillah saat ku sholat. Dengarkanlah hatiku. Simaklah desiran jiwaku.”
“Kunjungiku setiap saat. Kutuliskan sang rindu. Kutuliskan sang impian.”
“Menggapai cita suci. Menggapai harapan indah. Menghampar di bumi. Menyelusuri jalan impian. Meniti impian. Merajut cinta & kasih.”
“Biarkan ku melangkah. Menuju cinta abadi. Cahaya yang kurindu. Terbang ke pangkuan jiwa suci. Menghirup udara cinta.”
“Mencium wangi kasih. Memeluk harapan dan cita suci. Tersenyum bahagia selalu dan selamanya. Terima kasih ya Allah atas segalanya.” Aku tutup doaku dengan Alhamdulillah.
Setelah menulis, dan membacanya berulang kali.
Ada perasaan yang aneh dan unik.
Aku merasakan kebahagiaan, perasaan lega yang tak terkira. Seolah semua beban telah terangkat ke langit, yang tercurah adalah limpahan rahmat dan kasih dari Sang Maha Kasih.
Kubuka mata dengan lebar.
Matahari mulai meredup, tanda sang cahaya besar sudah mulai terbenam. Aku membalikkan badan, memunggungi lautan berbalik menuju pulang, pulang ke rumahku yang berpanggung.
Iya, aku tinggal di sebuah rumah kayu yang berpanggung tak jauh dari pantai indah ini. Berada dibawah kaki sebuah bukit yang hijau.
Aku menyusuri jalan sendiri, sambil menikmati sudut-sudut kota yang sudah berbenah, bahkan ada beberapa rumah kayu yang mulai menyalakan lampunya walaupun dengan lampu yang dipompa. Beberapa anak kecil terlihat berlarian dan bermain di depan kolong rumahnya, sambil tersenyum dan tertawa bahagia.
Sebuah kota yang romantis dan indah. Laksana lukisan sang maestro Vincent Van Gogh pelukis yang mendunia. Cantik misterius bagaikan tulisan sang penulis William Shakespeare yang melegenda. Hampir tak terungkapkan pesona kota kecil yang berpantai indah ini.
Setelah berjalan kaki beberapa menit, tibalah aku di persimpangan jalan menuju rumah.
Mendadak. Aku melihat ada banyak orang yang sedang berkumpul di rumah.
Aku sontak kaget dan terperanjat.
“Ada apa gerangan?????” Gumamku dalam keheranan, kepalaku agak kumajukan mencongak melihat ke ujung jalan.

BACA SEKARANG KLIK


Comments

Popular Posts