Novel #03: Buku yang Hidup (Karya Asrul Sani Abu)
Sejak itu, aku mulai menuliskan kisah dalam
sebuah buku kosong berwarna putih. Sebuah kata dari hati dan jiwa yang kubiarkan
terbang lepas menerawang ke langit semesta.
Didalam buku tersebut aku bebas mengeksplorasi
seluruh hati dan jiwa. Bagaikan burung elang yang lepas bebas dan merdeka terbang
mengitari gunung gunung yang menjulang ke awan.
Aku bebas menuangkan rasa cinta, impian dan
kasih dalam secarik kertas dalam bentuk tulisan dan gambar. Aku bebas berbuat
apa saja. Aku merdeka…
Aku menyebutnya “buku hidup” yang kutulis saat
sendiri. Iya, aku senang sendiri. Berbicara dan berfikir di keheningan.
Bagai seorang nabi yang sedang bertafakkur di
dalam sebuah gua yang tinggi. Dan bagaikan seorang pemimpin yang berintrospeksi
apa yang telah terjadi dan mencari solusi untuk kebaikan semua.
Dari keheningan dalam kesendirian, kutemukan
koneksi dengan Sang Maha Lembut.
Sang Maha Kuasa dan Sang Maha Pencipta
segalanya. Momen berharga dalam hubungan itu, sungguh sayang untuk tidak aku abadikan
dalam sebuah karya tulisan yang abadi.
Sebuah tulisan tentang perjalanan dunia, hidup
dan Maha Hidup, sang kekasih, tentang cinta dan kasih serta perpisahan untuk
kembali.
Sebuah tulisan impian nyata dan kemana langkahku
berjalan ketika waktu terus berputar tak berhenti walau sesaat.
Bagai jam yang terus berputar dan bagai orang
yang sedang tawaf disekeliling Kabah.
Pikiranku yang sedang menerawang….makin
menggelora. Kini semakin terus melepas dan terbang.
Dan kini sudah mencapai langit dan semesta
alam.
Bahkan aku kini melewati bima sakti…yang
terlihat hanya gemerlap cahaya bintang-bintang di tengah kegelapan yang tak
biasa. Bumi menjadi mengecil hingga terlihat hanya setitik dari jutaan titik di
galaksi yang sangat luas.
Aku merasa sangat kecil, lebih kecil dari atom
dan kurasakan kekuatan Maha Besar yang mengatur semuanya dengan sempurna, tanpa
tidur, tanpa istrahat sibuk sepanjang waktu mengabulkan doa sang hamba. Sekejap,
aku melayang melihat sang bumi yang berwarna biru, melintasi lautan biru yang
luas, lalu menghampiri gunung dan bukit yang penuh dengan buah beraneka warna
dengan aliran sungai yang jernih. Beberapa rumah kayu mulai terlihat…
“Aku melihat
seorang anak yang sedang duduk sendiri diatas sebuah batu besar. Sepertinya, aku
mengenalnya sosoknya.” Ucapku dalam
hati.
Aku tersadarkan, tiba-tiba, sayup-sayup
terdengar suara adzan dari masjid dekat rumah. Sang jiwa serasa melesat masuk
ke alam diri yang nyata. Jiwa masuk ke
dalam tubuh yang kasar.
“Allahu akbar allahu akbar!!!”
“Allahu akbar allahu akbar!!!”
Aku tersentak dan semakin sadar akan semuanya.
Suara muadzin tua yang telah berumur sekitar
70 tahunan memanggil dengan suara seraknya.
Mendengar panggilanNya, aku langsung bergegas
menuju ke tempat wudhu dan bersiap untuk sholat memenuhi panggilan Sang Pemilik
Rumah.
Buku yang kupegang, kututup dengan rapat dan kutaruh
diatas meja. Aku tak ingin ada orang yang mengetahui apa yang ada dalam fikiran
dan perasaanku saat itu…
Tak akan ada yang mampu memahaminya.
Sebuah programNya sedang ditulis untuk sang
anak yang baru berusia dibawah 7 tahun, untuk perubahan masa yang akan datang.
Akan terbuka, ketika Sang Waktu membukanya.
Aku tak ingin ada yang mengetahui rahasia impian
ini. Sementara ini, biarlah syair itu kusimpan rapat sendiri dalam sebuah
tempat rahasia dalam sebuah peti tua yang tak tersentuh siapapun.
Sebuah peti pusaka tua warisan sang kakek.
Yang akan merubah kehidupan masa depan, dalam sebuah syair suci yang pertama
dan terakhir.
Langkah kakiku kuayunkan lebih cepat, agar
dapat tiba di masjid sebelum qomat. Beberapa orang sudah melakukan sholat
sunnah. Semua terlihat datang dan masuk ke dalam masjid dengan perasaan damai
dan ikhlas, karena sebentar lagi akan bertemu dengan Sang Pemilik Panggilan.
Imam dan makmun berharap akan bertemu dan
melaporkan kejadian yang sedang terjadi dan mengucap doa dan harapannya untuk
kedepan.
Setelah sholat, aku pulang dari masjid dan
masuk ke dalam rumah kembali.
Orang-orang sudah mulai pulang ke rumahnya,
tinggallah kami sekeluarga duduk dan membaca doa dan bertafakkur serta
merenungi hikmah atas kejadian ini.
“Insan kamu sudah pulang yah, cuci kaki dan
langsung bobo yah….nak.”sang nenek mengingatkan.
“Baik nek….” Aku mengiyakan dan langsung ke
kamar mandi yang terletak di belakang rumah.
Pelajaran hidup pertama kulalui hingga
kepalaku, ku sujudkan ke lantai hingga lama agar kusemakin dekat dengan
frekuensiNya-RohNya dan para malaikat yang ada disekitar. Aku yakin ada
malaikat yang selalu bersamaku.
Aku bersyukur, walaupun adikku telah
berpulang, tapi kuyakin dia akan masuk ke surgaNya dan sekarang sedang menunggu
kami sekeluarga disana sambil membawa mahkota terindah untuk kami kenakan
ketika tiba disana tuk berkumpul bersama selamanya.
Dan hari ini, kami juga akan berupaya membawakannya
oleh-oleh amalan yang terbaik untuk dipersembahkan di negeri yang selamanya.
Aku melangkah menuju kamarku, dengan kaki yang telah dicuci bersih untuk segera
beristrahat…
Namun, sebelum aku naik ke pembaringan. Aku
merasakan “panggilan” ingin menggambar suatu sosok. Aku ambil bolpen yang ada
diatas meja dan kugoreskan garis-garis yang membentuk rambut yang bergelombang,
bagai gelombang laut di tepian pantai, lalu kugoreskan hidungnya yang mancung
dan dagunya yang lancip, bibirnya yang tersenyum serta alis dan matanya yang
tajam. Aku tak tahu sosok ini siapa sebenarnya. Apakah manusia atau malaikat,
entahlah. Aku hanya menggambarkannya sesuai pancaran jiwaku malam ini…Suatu
hari akan terungkap…
Comments