Menikah itu Sunnah Nabi (The Novel by Asrul Sani Abu)




“ Cinta itu membangun keindahan dunia bagai surgawi yang sejati”

Kami dengan senyum bahagia, melangkah ke gerbang masa depan yang terbuka bagai cahaya yang memancar. Menyusuri jalan berdua, bergandengan tangan dan tertawa bersama, karena hati dan jiwa telah kembali menyatu seutuhnya.
Di masjid yang suci, kami mengikrarkan janji suci untuk saling mencintai karena Allah. Masjid ini masih baru dibangun dan merupakan masjid yang fenomenal, nyaman dan megah bernuansa mirip masjid Nabawi di Madinah.
Aku memilih masjid ini sebagai tempat berjanji suci agar bisa menziarahi makam rasulullah Muhammad SAW dan membangun masjid yang indah seperti masjid beliau, Masjid Nabawi, Madinah Al Munawwarah. Dan berharap anakku memiliki kehebatan seperti rasulullah dan memiliki hati yang seindah masjid Madinah.
Niatku sekaligus ingin ke masjid Madinah makam rasulullah sekalian umrah bersama sang kekasih jiwa. Saat masuk masjid aku membayangkan sedang berada di Madinah bersama sang istri. Ibadah umrah bersama istri sang kekasih jiwa adalah salah satu “honey moon” terbaik yang dibarengi dengan amalan terbaik.
“Ya Allah…kabulkan ya Allah” aku berucap berulang kali.
Didalam masjid terlihat semua sudah teratur dengan baik dan siap mengadakan acara ijab qabul. Disitu terlihat telah tersedia perlengkapan menikah, mas kawin, sebuah meja dan sajadah membentang di atas karpet yang bernuansa hijau.
Suasana begitu damai, dengan udara yang bersahabat melewati celah-celah ratusan lubang angin jendela masjid. Masjid ini tidak berpendingin udara tapi terasa sejuk dan nyaman. Kubahnya yang besar memungkinkan udara untuk bebas lepas meniup sekeliling udara masjid.
Semua terlihat tegang namun senang. Beberapa ibu-ibu sedang mengobrol santai, sedangkan beberapa bapak-bapak terlihat sibuk mondar mandir mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah proses bacaan quran dan ceramah tentang pernikahan, sang penghulu mencoba menjelaskan aturan dan kaidah-kaidah pernikahan sebelum acara ijab qabul dimulai. Para saksi mengambil tempat yang telah disediakan dan duduk berdampingan disebelah sang penghulu. Abah berinisiatif untuk menikahkan sendiri sang anak kesayangannya. Dia duduk dihadapanku dan mengulurkan tangannya kepadaku dan kubalas dengan jabatan tangan yang erat, sambil memandang wajahnya yang tenang. Dia berdoa dalam hati lalu berucap:
“Dengan ini, aku nikahkan dan kawinkan engkau saudara Muhammad Insani bin Akbar dengan Putri Ramadan bin Wahyu Sofyan dengan mas kawin emas dan seperangkat alat sholat tunai karena Allah.”
Aku yang sudah latihan lama, dengan cepat menjawabnya
“Aku terima nikah dan kawinnya Putri Ramadan bin Wahyu Sofyan dengan mas kawin tersebut. Tunai..!!”
Para keluarga yang hadir berteriak….
“SAH!!!”
“Alhamdulillah.” Ucap sang penghulu.
“Alhamdulillah….. Alhamdulillah…..” Suara sorak syukur bergemuruh di seluruh masjid.
Semuanya tersenyum bahagia, mengetahui proses pernikahan berjalan dengan damai, hikmat dan lancar.
Para pengambil gambar tampak sibuk mengabadikan momen yang tak terlupakan.
Mempelai wanitapun akhirnya dipanggil untuk duduk berdampingan denganku dihadapan sang penghulu. Aku melihatnya dengan penuh rasa kagum.
Aku belum pernah melihatnya berdandan cantik seperti bidadari. Seluruh tubuhnya berkilau dan mengeluarkan wangi khas melati yang bergantung di sekujur kepalanya.
Matanya berbinar cerah secerah matahari pagi yang baru bersinar, senyumnya tak lepas berhenti tersenyum bahagia. Bibirnya memerah semerah strawberry yang baru dipetik.
Tampilannya sang calon istri sangat anggun, dengan memakai gaun kebaya yang berwarna putih, dipadukan dengan kain batik yang berwarna coklat.
Sang bidadariku duduk dengan indah, diatas bantal yang telah disiapkan dan sekarang duduk berdampingan denganku. Aku merasakan bagai hidup di surga diatas dipan-dipan dalam sebuah kerajaan surgawi, yang didampingi oleh sang ratu bidadari.
Aku tersenyum walau ada rasa gugup.
Kami berdua diminta untuk menandatangani perjanjian surat nikah di buku nikah lalu kemudian kami tunjukkan pada semua yang hadir sambil diabadikan oleh sang fotografer.
Dan kamipun telah resmi menikah dan menjalani lembaran hidup baru bersama dengan senang dan rasa bahagia.
Aku mulai “flashback” tentang tulisan dan gambar yang aku buat ketika masih kecil di sebuah buku “hidup” yang kusimpan, sekarang dengan perlahan mulai terungkap dengan nyata.
“Sang malaikat” kini kembali berseru.
“Bermimpilah, ikuti sang hati, ikuti sang jiwa, ikuti jalanNya.”
“Berhenti mengeluh, berhenti membisu, berhenti membuang waktu, berhenti membuang nafsu.”
“Bangun sang jiwa kembali, bangun sang badan bergerak, bangun jari dan kaki bumi, menuju impian sejati.”
“Sang waktu. Waktu hanya soal waktu, pasti habis dan berlalu. Dia akan tersisa hingga tiada, akan habis binasa, hingga membangun kembali yang tersisa, berbagi dan berkarya nyata untuk diri dan diriNya, untuk masa kini dan masa depan.”
Pagi ini aku terbangun dengan seorang wanita idaman hati yang cantik dan sholehah tidur sambil tersenyum manis penuh rasa syukur, berterima kasih atas semua yang telah ada.
Berterima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan untuk hari-hari bersama kedepan.
Untuk mengubur kemalasan dan rasa khawatir, aku langsung ke kamar mandi dan mandi dengan kucuran air yang membasuh tubuh dan fikiranku.
Seketika aku merasakan kesegaran kembali dan mulai memulai hari yang baru dan menyegarkan sang jiwa.
Aku mulai membuka buku dan membaca tulisan yang menginspirasi hari.
Aku baru sadar, bahwa saat ini, aku sudah menikah.
“Hmmmm….Adinda yang cantik berkilau. Kakak rasanya ingin bercinta setiap saat melihat bidadari putih berkilau selalu tersenyum manja…” ucapku padanya.
“Kakak…..bisa aja. Kan sudah halal dan boleh kok kakak….Aku siap setiap saat…kakak….”Jawabnya dengan penuh manja.
“Masya Allah, inikah nikmatMu saat mengikuti sunnahmu ya nabi Allah” Aku bersyukur dalam hati.
Sedikit demi sedikit kutarik nafas yang panjang….
Aku merasakan kesegaran dan wangi khas bunga melati yag bertebaran diatas dipan pengantin.
Dan seketika aku mendatanginya bagai sang petani yang datang ke ladang. Memetik bunga putih yang suci, bagai sang madu menghisap sari bunga melati.
Perlahan aku mulai menggendong sang istri ke pembaringan suci.
Sang kekasih berteriak kegirangan…
”Kakak…..kakak…pelan-pelan doooonggg…sayaaaangg” Jeritnya manja, sambil tertunduk malu.
Dengan pelan, aku menaruh sang bidadari diatas dipan yang berwarna putih. Melihatnya dengan cinta dan sayang, bagai melihat hamparan laut yang biru dan jernih.
Kamipun melakukan “ritual ibadah sunnah” yang memberikan keberkahan dan pahala yang luar biasa untuk masa depan generasi yang lebih baik. Kami berdoa dengan pernikahan ini, agar dapat diberikan keturunan yang sholeh/sholehah.
Aku kecup keningnya dengan lembut, bagai mencium sang hajar aswad. Batu suci dari surgawi. Diapun diam tak bergerak bagai batu nan suci. Menikmati kucuran rahmat dariNya melalui perantara sang suami.
Aku belai rambutnya bagai menyentuh aliran mata air dari surgawi. Aku pandang matanya yang bercahaya bagai cahaya bintang di kegelapan semesta alam.
Sang diapun tersenyum dengan bibir merah bagai mawar yang sedang merekah menanti sang lebah untuk mengambil madunya.
Kami tidur bersama dan berpelukan dalam rangkaian ibadah nan suci. Hati ini terbang ke langit bagai sepasang burung merpati yang mengepakkan sayapnya. Nafsu yang dapat disalurkan sesuai sunnah sungguh sebuah anugrah yang luar biasa.
“Ya Allah…Tak ada hari seindah, dan senikmat hari ini….Alhamdulillah….ya Allah….”Ucapku berkali-kali, tak henti-hentinya mulut ini bersyukur dan mengucap hamdalah.
Hari masih pagi, aku lalu ke kamar mandi dan berniat junub lalu berwudhu untuk menunaikan sholat dhuha untuk bersyukur dan memohon rezeki dari Ilahi…


(Diambil dari Novel Ayat Cinta Sang Pujangga, karya Asrul Sani Abu 2019)

Comments

Popular Posts