Fight for Life (Ayat Cinta Sang Pujangga)


Hari itu, hari pertama masuk sekolah.

Bangun pagi, dan langsung mandi dengan air jernih yang diambil dari sebuah sumur yang berada di samping rumah, lalu menggosok gigi dengan sisa batu bata merah yang dibuat khusus.
Iya, aku memang masih sempat merasakan menggosok gigi dengan batu bukan dengan pasta gigi.
“Nek, aku ingin sikat gigi” kataku.

“Oiya itu sudah ada nenek siapin, sikat giginya pakai tangan dan odolnya gunakan sisa batu merah agar bisa membersihkan kotoran sisa makananmu.” Dengan lugas sang nenek menjawab permintaanku.
Hmmmm, walaupun serasa aneh, tapi aku percaya ini cara yang benar.

“Baiklah nek!!!” kataku bersemangat.

Sang nenek telah menyiapkan segalanya mulai dari peralatan mandi, pakaian dan sarapan pagi. Nenek memakaikan baju dan celana dengan cara yang khas dan penuh cinta.

Dengan perlahan, tangannya dengan lembut merapikan setiap sudut baju dan celana sehingga terlihat enak dipandang. Tangannya masuk ke setiap sudut untuk merapikan baju. Sesekali dipandangnya wajahku dan tubuhku dengan penuh senyum, seolah kagum dengan tampilanku.
Akupun sangat senang diperlakukan dengan penuh cinta, walaupun saat itu dalam kehidupan yang sederhana dan apa adanya.

Sekejap dengan bersemangat dan penuh cinta aku langsung berjalan kaki ke sekolah. Menyusuri lorong-lorong jalan hingga mencapai jalan raya dekat sekolah. Cukup jauh bagi seorang anak kecil, namun saat itu tidak terasa jauh karena perasaan senang bisa ke sekolah bersama para saudara teman sebaya tetangga rumah.

Tiba di sekolah, saya senang bermain dan belajar bersama sahabat sebangku. Namanya Firman. Firman adalah anak yang penurut dan apa adanya. Dia bukanlah tipe anak nakal yang suka mengganggu temannya. Makanya aku senang berteman dengannya.

Ketika jam pelajaran sekolah hampir selesai, tiba-tiba si Fauzan yang berbadan besar dan berwajah kotak, mencoba mengganggu dan bercanda.  Lalu sejurus kemudian mendadak si anak mencoba mengganggu dan malah mencoba menusuk tanganku dengan pensilnya, namun dengan sigap aku menghindar.
Si sombong,merasa kalah cepat.  

Tidak langsung patah semangat malah langsung menusuk tangan kiri Firman dengan ujung pensilnya yang tajam. Firmanpun menangis dan meringis kesakitan.

“ADUUUHHHH, sakit woi!!!” teriak si Firman.
Aku kesal dan merasa tidak tega melihat kejadian ini dan rasanya ingin langsung memberi pelajaran kepada si Fauzan yang sombong.

Semua teman dikelas ikut  mendukungku karena memang anak ini sudah kelewat batas. Dia sudah sering membuat ulah di kelas.

Mereka memintaku agar menghajarnya dengan tangan yang mengepal sebagai bentuk dukungan dan bantuan agar si anak sombong itu tidak lagi berperilaku kurang ajar.

“Hei, Insan, nanti jika pulang sekolah, pukul dia dengan tangan mengepal seperti ini, tapi jangan sekarang!” kata Firman. Sambil menunjukkan kepalan tangannya, namun ibu jarinya dimasukkan dalam genggaman jari yang lain.

Akupun terdiam, namun dengan ekspresi tersenyum tanda setuju.
“Baik,” jawabku singkat, sambil menganggukkan kepala.

Disaat bubaran sekolah. Aku dan teman-teman menunggu dengan rasa amarah yang sudah lama terpendam. Si anak sombong Fauzan muncul di keramaian dan dengan sangat cepat aku langsung menghunjamnya dengan satu kali pukulan telak tepat ke wajahnya yang berbentuk segiempat.
Tak disangka pukulan kerasku langsung membuat hidungnya berdarah dan membuatnya mimisan.
Wajah kotak Fauzan mendadak pucat dan kaget bukan kepayang.

Dia tak menyangka ada yang berani memukulnya, mengingat dia adalah anak yang terbesar dan terkuat di kelas.

Akupun juga kaget, tak kusangka pukulanku bisa membuatnya berdarah. Aku hanya ingin memberinya pelajaran, bukan untuk menyakitinya.

Apalagi ternyata anak ini adalah anak seorang pimpinan sekolah.
Aku menjadi merasa was-was, jika nantinya diminta untuk dipanggil ke ruang sekolah.

“Hmmmm…..bisa gawat nih nantinya” begitu gumamku.
Semua teman, mencoba memberiku harapan bahwa semua akan baik-baik saja dan tidak akan terjadi masalah besar.

Syukurnya, semua merahasiakannya dan merasa tidak ada lagi yang perlu diperpanjang atau dilaporkan ke sekolah.
Esoknya si Fauzan yang sombong juga telah sadar dan meminta maaf kepada Firman dan berjanji tidak akan berperilaku kasar dan sombong lagi. Akupun tersenyum dan mengajaknya kembali bermain bersama.

Aku merasa lega dapat membantu seorang teman  untuk bisa belajar kembali tanpa ada rasa khawatir diganggu apalagi ditusuk dengan pensil yang sangat tajam.
Alhamdulillah semua akhirnya berjalan dengan baik, kamipun tetap kembali berteman, tetap bermain dan belajar bersama.

Aku bersyukur dapat memberikan perubahan yang lebih baik, walaupun dengan adanya tindakan yang cepat dan tepat sasaran di sumber masalah.

Kadang kita butuh sebuah keberanian, bahkan kalau perlu berkelahi sebagai lelaki demi sebuah keadilan dan kebaikan semua (aku bergumam dan mencoba menjadi bijak).

Membiarkan kezaliman dan ketidak adilan akan merugikan kita dan semua orang nantinya. Harus ada orang yang mencegah dan memperbaikinya agar kezaliman tidak berlangsung terus menerus.
Aku mencoba berpikir bijak bagai seorang pemimpin.

Aku sang bocah belajar merasa sebagai seorang pemimpin, tidak hanya bagi diri namun juga semesta.
Akan kujaga teman, keluarga dan orang-orang yang aku sayangi dari tindakan zalim yang merugikan mereka.

Itu yang kujaga hingga dewasa nanti.

“I will fight for their happiness.”

Akupun tersenyum dan yakin aku bisa melakukan yang besar untuk hidup mereka.

“I will fight and keep fighting for life!!.” Teriakku.

Aku berteriak memberi semangat bagai seorang motivator pada diri sendiri lalu tersenyum bangga….
Walau hanya di depan cermin yang ada di kamar.




Comments

Popular Posts