Bosan itu Kreatif (Novel Ayat Cinta Sang Pujangga 011)
“Boredom always
precedes a period of great creativity.” — Robert M. Pirsig (penulis/filsuf
Amerika).
Kebosanan selalu mengawali periode
kreativitas yang hebat.
Pagi ini, tak terasa,
aku sudah lebih dari setahun tinggal di benua Australia yang indah dan
mengagumkan.
Aku masuk ke ruangan
kelas dan duduk paling depan.
Sang dosen terlihat
sedang mengajarkan tentang “Marketing Principles”. Dia menjelaskan bahwa
pemasaran adalah segalanya.
“Ok student, any body
know about marketing??….” Sang dosen bertanya kepada mahasiwa yang ada.
Beberapa mahasiswa
dengan cepat mengangkat tangannya.
“Ok you….!!” Sang dosen
menunjuk seorang pria yang berasal dari Swedia.
“I think marketing is
about selling sir!!” jawab sang mahasiwa percaya diri.
“Well, that is not
wrong….good. Anyone else….??”
“Marketing is about
product sir.” Sang wanita dari Pakist an mencoba menjawab. Wajahnya yang khas
dan hidung mancung namun berkulit asia menunjukkan kecantikan yag alami.
“Well, that all true.
But Marketing is not about that. Marketing is everything.”
“Marketing is about
satisfying human need and want.” Kata sang dosen dari Inggirs ini menjelaskan
dengan sederhana dan menarik bahwa Marketing adalah segalanya dan Marketing
adalah tentang memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia.
Sang dosen menjelaskan
bahwa sekarang ini, kita semua telah berhubungan dengan Marketing sejak mulai
bangun tidur hingga tidur kembali. Itu dikarenakan pada saat bangun tidur kita
bangun dan menggosok gigi dengan “Colgate”, memakai baju merek ‘Arrow”,
menggubakan sepatu “Nike” ke luar rumah dengan “Honda” atau “Toyota, serta
makan dengan “french fries” di restoran
atau di pasar serta sekolah di University of Western Sydney, nonton
dengan tv Sony hingga tidur dengan pakaian bermerek.Semuanya terhubung dengan
Marketing yang selalu berusaha memuasakan kebutuhan dan keinginan manusia.
Aku jadi berpikir
“betapa mulia ilmu pemasaran dalam membantu memuaskan kebutuhan dan keinginan
manusia yang semakin hari semakin berubah, sungguh sayang jika digunakan untuk
hal yang tidak bermanfaat.”
Aku bersyukur dapat
mengikuti pelajaran ini dengan mudah sehingga nantinya dapat membagikannya di
Indonesia dengan cara yang lebih baik.
Semua mahasiswa menyimak
penjelasan sang professor dengan senyum dan penuh rasa ingin tahu yang tinggi.
Mereka menjadi lebih paham tentang makna dan arti dari Marketing secara luas
dan komprehensif.
Jam pelajaran tak terasa
telah selesai. Sang dosen menutup kelas dengan tersenyum dan meminta semuanya
istrahat. Sesaat kemudian kelas menjadi kosong, ditinggal oleh semua.
Akupun berjalan keluar
kelas tutorial Berjalan menyusuri jalan yang bertaman menuju kantin untuk
membeli french fries dan sandwich.
“can I have a french
fries and sandwich, please…”aku meminta makanan kesukaanku kepada pelayan kantin.
Sambil tersenyum, dengan
cekatan sang pelayan menyiapkan semuanya, dan setelah matang dia menyerahkan
sambil berkata
“Here you go, all 8
dollar…”sambil mengulurkan tangannya.
Akupun memberikan
selembar kertas 10 dollar dan dikembalikannya dengan uang koin 2 dollar
Australia.
Makanan lalu aku bawa
dan memakannya di kursi taman yang terbuat dari kayu alami sambil menikmati
suasana sejuk dan nyaman.
Walaupun jam menunjukkan jam 12 siang. Suasana
serasa masih pagi dengan udara dingin yang agak menusuk kulit.
Burung-burung merpati sepertinya
tak merasakan kedinginan mereka dengan bebas berkeliaram di taman dan memakan
sisa makanan yang dilemparkan.
Kehidupan negeri ini
semuanya serba bersih, teratur, tepat waktu dan konsisten.
Kondisi cuaca yang
dingin membuat orang-orang disini banyak mengkonsumsi minuman keras. Mereka
meminumnya bagai secangkir teh atau kopi setiap hari. Aku pernah mencobanya
atas dorongan seorang teman, namun itu tidak membuatku nyaman. Malah membuatku
merasa berdosa.
Setelah belajar, dan
makan siang, aku merasa ingin beribadah dan bertobat. Namun aku tidak menemukan
tempat ibadah selain gereja yang itupun hanya buka hari tertentu saja, tidak
tiap hari buka.
Aku ingin berkomunikasi
dan sujud bersyukur di hadapan Allah SWT.
Kehidupan tanpa masjid
dan tanpa mendengar suara adzan membuatku terasa asing terhadap diri ini. Jiwaku
terasa haus. Ingin mendekat dengan air suci Sang Maha Suci, untuk menghapus
segala noda.
Selama di Australia hidup
terasa jauh dari koneksi Sang Maha Kuasa. Aku sangat sulit mencari sebuah
masjid. Jika mampu menemukanpun harus bisa naik kereta berjarak puluhan
kilometer dan harus berjalan kaki cukup jauh.
Kerinduanku akan masjid
dan suara azan semakin menggebu.
Keindahan kota,
kebebasan berperilaku dan keteraturan membuat kehidupan menjadi terlihat monoton.
Hidup hanya untuk diri sendiri. Hidup hanya untuk mencari kebahagiaan semu yang
ada dibumi.
Semua kebutuhan tubuh
ini, ada dan tersedia lengkap.
Namun aku membutuhkan
sisi spiritual.
Jiwaku, rohku
membutuhkan Sang Khalik, Allah SWT.
Aku kangen, ingin pulang
dengan suasana khas Indonesia.
Para sahabat hampir
semuanya marah dan menolak.
“What are you doing, go
back San?....tanya sang mahasiswi sedikit marah. Sepertinya sang mahasiswi
kecewa dengan keputusanku.
“Why don’t you completed
your study here first…..?”
“Come on….”
“Don’t go back
San….!!!!” Sang mahasiswi membentak tapi penuh harap.
“If you go back, I will
never talk to you again!!!” sang mahasiswi mencoba mengancamku agar membatalkan
kepulanganku.
“I just wanna go back to
my own country…please help me, please…..” kataku sedikit memelas.
Aku tetap pada
keputusanku dan tak bergeming, tetap ingin berkemas pulang. Aku tahu sang
mahasiswi membutuhkan pertolongan dan bantuanku yang selama ini tanpa pamrih
selalu siap membantunya.
Tapi aku punya alasan
kuat yang tak bisa ditawar.
Si mahasiwi akhirnya
pasrah dan mencoba membantuku menyiapkan semua barang untuk kembali ke
Indonesia, walaupun dengan perasaan mendongkol masih terlihat jelas di raut
wajahnya.
Aku tak tahu apa yang
ada diperasaannya. Aku hanya tidak tahan lagi tinggal disini.
Apalagi ketika
mendapatkan info dari dokter kampus bahwa aku mendapat sinusitis dan harus
segera dioperasi agar dapat kembali bernafas dengan normal.
Sang dokter menjelaskan
bahwa aku tidak boleh berada di tempat yang terlalu dingin. Dan sinusitisku
semakin parah jika dalam kondisi ekstrim, sehingga aku sulit untuk bernafas
dengan normal. Sementara yang bisa diberikan sang dokter adalah obat semprot
yang disemprotkan ke hidung setiap kali aku kesulitan untuk bernafas.
“It’s the only way to
help you, is by surgery….” Demikian sang dokter menutup pembicaraan di ruang
klinik kampus.
Aku berjalan lunglai di
sepanjang “pedestrian” kampus. Kampus yang bersih, indah dan damai akan
kutinggalkan dan akan aku rindukan. Aku benar-benar menikmati hari-hari
terakhirku di negeri yang indah.
“Satu-satunya cara agar
bisa sembuh adalah dengan jalan dioperasi.” Seorang sahabat mencoba
menasehatiku.
“Aku tentu saja tidak
siap untuk dioperasi disini tanpa
keluarga. Aku benar-benar tidak siap!!!.” Aku berteriak keras tidak ingin
dioperasi di Australia.
Sesampai di kamarku, aku
berbaring sambil berpikir keras, tindakan cepat apa yang harus aku ambil. SEGERA!!.
Akhirnya aku putuskan
untuk balik saja ke Indonesia. Ini mungkin jalan terbaik, mengobati tubuhku dan
mengobati jiwaku yang rindu akan suasana keislaman nusantara, Islam yang
rahmatan lil alamin, pemberi rahmat bagi semua.
Semakin hari, semakin
lama aku tinggal justru menjadi semakin kangen dan ingin pulang ke Indonesia.
Kangen dengan ragam makanannya,
kangen bakso, kangen nasi goreng, kangen sate, kangen rendang, kangen berkumpul
bersama sahabat dan keluarga.
Rindu dengan ragam
budaya dan agamanya. Berbeda tapi saling toleransi dan saling hormat dan menyayangi.
Peduli dan saling mempedulikan.
Negeri Indonesia yang
aku cintai, walau masih belum maju dan masih banyak yang harus dibenahi. Tapi
aku cinta negeriku melebihi segalanya.
Aku cinta alam Indonesia
dengan sawahnya yang hijau, pegunungan yang menjulang, lautan yang lepas,
pantai yang indah serta kondisi cuaca yang bersahabat.
Rindu pulau bali yang
indah, suasana puncak yang romantis, kota Bandung yang lengkap dengan
kulinernya yang beragam serta kota Jakarta yang mempesona. Orang-orangnya yang
ramah dan membahagiakan. Mungkin orang Indonesia adalah salah satu negeri yang
paling bahagia warganya, dengan kondisi alam yang surgawi dengan cuaca yang
bersahabat.
“Negeri yang indah
dengan sumber daya alam yang melimpah, sayangnya tidak dibarengi dengan sumber
daya manusia-manusia yang hebat. Masih dibutuhkan kerja keras dan kerja ikhlas
dalam membenahi sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing dengan negara
lain di dunia. Motivasi saja tidak cukup, dibutuhkan strategi dan tim yang kuat
agar tercipta sistem yang terintegrasi sehingga semua dapat bekerja dengan
baik, lancar dan sistematis.” Aku seolah menjadi pemimpin yang sedang berbicara
di hadapan para awak media.
“Negeri ini membutuhkan
orang-orang yang jujur dan memiliki integritas serta keikhlasan diatas
rata-rata. Negeri yang besar membutuhkan upaya yang besar agar menjadi negeri
yang merata dari segi sumber daya dan akses kehidupan agar kehidupan menjadi
lebih adil dan lebih sejahtera.” Sambil tersenyum, berbicara di depan cermin
sendiri, sambil melihat gaya bicaraku.
Dalam hati aku berpikir,
“apakah mungkin aku menjadi seorang yang
membawa perubahan?”
“Hei. San.!!” Si Thomas
yang dari tadi melihatku berbicara mulai beraksi.
“Loe tuh yee, orangnya
kebanyakan mikir dan kebanyakan bermimpi….” Si Thomas tiba - tiba langsung
berada disamping cermin dan melihat ke cermin juga sambil menasehatiku.
“Mendingan kayak gue,
nga punya mimpi dan dan nga punya cita yang penting gua bisa kerja dan dapat
uang. Itu yang penting sekarang bro….!!! Nga usah jujur deh….jaman sekarang,
ntar malah nga dapat kerja lho!!!” Katanya mengingatkanku.
Dalam hati, kadang benar
juga nih orang.
Aku sendiri memang
bukanlah siapa-siapa. Aku mencoba mendengarkan si teman yang mencibir impianku.
“Bro, tapi aku percaya,
Tuhan tidak akan menyia-nyiakan hambaNya yang taat dan jujur kepadaNya.” Aku
mencoba menjelaskan.
“Gua setuju bro…Tapi
cobalah realistis. Sekarang ini kita butuh uang, bukan butuh integritas!!!”
Katanya mencoba mempengaruhiku.
“Iya sih, tapi aku
merasa aku harus menjaga nama baikku, agar tetap berada di jalan yang lurus”
Aku mencoba meluruskan, karena aku percaya nanti akan menjadi orang besar yang
berpengaruh.
“Iya bro, tapi nanti loe
nga bakalan jadi orang kaya, kayak orang lain teman kita tuh, sekarang udah
punya mobil sport dan rumah mewah puluhan. Nah loe punya apa?”
“Iya, aku memang nga punya harta dan mobil
sport, yang aku punya hanya Allah, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku
bergantung dan berserah diri padaNya, aku percaya selalu diberikan yang terbaik
dariNya.” Aku menutup pembicaraan.
Disebut kata Allah, sang
temanpun terlihat pasrah. Dia tidak tertarik lagi untuk berdiskusi, bisa jadi
karena Allah atau memang dia takut dengan kemampuan Sang Maha Kuasa yang dapat
memutar balikkan keadaaan ini hanya dengan sekejap. Aku berkata dalam hati…
“Ya Allah, bantu aku ya Allah…”
“Kabulkanlah semua permohonanku, karena aku
tak sanggup tapi aku yakin Engkaulah yang sanggup mengabulkan semua.”
Comments