Hadiah Tak Terkira dari Novel "Berpisah untuk Kembali"
Hadiah Tak Terkira
“Kamu baik-baik aja Insan? Kamu terlihat pucat dan
berkeringat.... Ayah memulai pembicaraan.
“Oh…. Tidak masalah ayah. Hanya kecapean aja kok…” Jawabku
sambil tersenyum malu.
“Ini…. Maksud kedatangan ayah kesini, sebenarnya ayah hanya ingin
memberikan hadiah kejutan pernikahan untuk kalian. Ayah selama ini selalu mengamati
kami mulai dari kecil hingga kini dewasa, kamu selalu taat pada orang tua dan
menjalankan perintah agama terutama sholat lima waktu dan juga ibadah lainnya.
Sebagai hadiah dari Allah atas ketaatanmu, maka ayah ingin juga berbagi rezeki
yang juga dari Allah yaitu sebuah rumah baru untuk keluarga baru kalian….” Kami
berdua dengan sangat senang dan bahagia menyimak setiap perkataan dari sang
ayah. “Alhamdulillah, terima kasih banyak ya ayah. Aku berjanji akan membalas
semua kebaikan ayah… balasku. Sang istri yang mendengarnya berdoa dan berterima
kasih. “Terima kasih atas segalanya ayah… Terima kasih ya Allah, Engkau sungguh
baik hati dan Maha Kuasa…”
“Ayah tidak ingin kalian hidup menderita seperti ayah yang
dulunya hidup kadang berpindah kontrakan untuk sekedar menyambung hidup, ayah
berharap pernikahan kalian berjalan mulus dan bahagia” Ayah berkata sambil
memandang lurus kedepan, seolah mengingat kenangan pahitnya di masa lalu.
“Untungnya ibumu selalu setia membantu dan mendampingi
ayah…. Pada saat-saat kami sedang kekurangan segalanya. Waktu itu keadaan kami
sedang dalam terpuruk.”
Ayah tersenyum, lalu beranjak dari tempat duduknya.
“Sebenarnya rezeki, jodoh dan kematian semua di tangan
Allah. Kita semua hanya menjalani waktuNya dan mengabdi demi untukNya” Beliau
memberikan hikmah dalam kehidupannya. Baiklah… Ayah rasa kalian juga sedang
capai, jadi Ayah balik dulu aja yah. Mau istrahat juga. Masih cape dengan acara
kita tadi kan… Alhamdulillah kita bersyukur semuanya berjalan dengan baik dan lancar
serta dimudahkan oleh Allah SWT…. Ok yah. Assalamu alaikum”
“Waalaikum salam…” Jawab kami kompak dengan perasaan senang
dan bahagia tak terkira. Kami berperpelukan dan melompat kegirangan bagai
seorang anak kecil yang mendapatkan hadiah yang diimpikannya. Kegiatan ibadah
nikah tuntunan sang nabi yang kami niatkan untuk Allah dibalas langsung dengan
hadiah yang tak terkira. Kami semakin rajin beribadah dan bersedekah kepada
siapa saja.
Sampai disini semua berjalan lancar dan penuh keberkahan. Seolah
kehidupan berputar di jalan yang lurus tak berliku atau menanjak bahkan
terhindar dari turunan yang curam. Bahtera yang baru saja kami bina, berlayar
tak berangin bahkan nyaris tak bergelombang. Kebahagiaan dan beragam hadiah terus
datang dan menghampiri kami di bulan-bulan pertama pernikahan. Mulai dari
hadiah rumah, hingga hadiah kendaraan baik mobil dan motor serta berbagai
perlengkapan rumah tangga untuk kelangsungan pernikahan kami yang masih baru.
Semua orang seakan berlomba untuk memberikan hadiahnya sebagai ucapan selamat
atas sebuah pernikahan yang direstui oleh semua keluarga dan kerabat dekat.
Gedung pernikahan, masjid dan kamar hotel semuanya telah disumbang oleh kerabat
yang peduli dengan pernikahan kami. Bahkan kami berdua mendapatkan hadiah umrah
untuk berziarah ke makam nabi besar Muhammad Madinah Al Munawwarah sekaligus
beribadah tawaf di masjidil haram Makkah Al Mukarramah. Mungkin inilah yang
disebut orang dengan bulan madu terindah bagai surga sebelum surga yang
sebenarnya. Bulan-bulan awal pernikahan berlangsung begitu indah dan kemanapun
kami pergi selalu berjalan dengan mesranya seakan tak ingin lepas dari pelukan.
Bulan madu terasa semakin indah dan menyenangkan ketika sang
lebah meraih begitu banyak madu dari sang ratu lebah untuk kelangsungan
kehidupan di masa depan. Sang lebah hanya melihat bunga yang sedang mekar
berkembang, yang selalu menanti hinggapnya sang lebah dari pagi hingga pagi
menjelang. Manisnya pernikahan begitu indah dipandang dan dirasakan berdua
bagai nabi Adam dan Hawa yang diciptakan hanya berdua di bumi yang luas.
Kemanapun kita bersama, jalan bersama, makan minum bersama, bercanda bersama,
sepiring bersama, mandi dan tidur bersama bahkan menangis bersama. Semua
dilakukan secara bersama-sama, seolah kehidupan akan demikian terus adanya.
Cinta yang tercurahkan karena dua makhluk Tuhan yang sedang mendapatkan
rahmatNya.
Dua bulan lebih telah kami lewati bersama dengan rasa senang
dan bahagia. Tapi melewati bulan ketiga, gelombang ujian mulai datang
menghampiri sang bahtera rumah tangga yang masih baru, tak terkecuali kami.
Pertengkaran mulai terjadi setiap bulannya, terutama pada tanggal-tanggal
tertentu yang sempat aku garis merahi di setiap tanggal akhir bulan pada saat
datangnya sang bulan. Wanita di masa periodenya memiliki masa yang sulit dalam
mengelola emosi dan responnya yang kadang tidak dipahami oleh kaum pria. Pertengkaran
terjadi karena adanya “miscommunication” dan “lack of communication”. Perbedaan
karakter dan sifat planet Mars dan Venus menemukan jarak yang semakin jauh jika
tak menemukan frekuensi rahmatNya.
Terlebih lagi, munculnya teknologi baru yang memudahkan kita
untuk berinteraksi sosial melalui media “mobilephone” telah masuk ke dalam
rumah bahkan ke dalam jiwa dan hati kita. Waktu utama yang kita nikmati secara
bersama telah diambil oleh teknologi yang mendekatkan yang jauh namun
menjauhkan yang dekat. Manusia yang dekat sudah tak menarik lagi. Yang ada
mencari kebahagiaan diluar dari rumah sendiri.
Hampir setengah tahun, kehidupan rumah mulai terasa sepi dan
sunyi. Hanya suara “handphone” yang sering berbunyi yang entah dari mana
asalnya. Informasi terlampau banyak yang justru tidak memiliki hubungan dengan
kehidupan kita. Perasaan sunyi karena tiada anak yang lahir menambah suram kehidupan
ini. Aku yang baru selesai mencari nafkah di Jakarta telah kembali ke rumah
kami yang berada di pinggiran kota Jakarta. Kejadian di kantor yang tidak
mengenakkan berusaha tidak aku bawa pulang ke rumah. Pimpinan yang baru,
memimpin dengan arogan dan sok kuasa, seakan dialah diatas segalanya yang
memberikan rezeki pekerjaan kepada bawahannya. Masih terbawa dalam fikiranku,
bagaimana dia bergaya dan berpenampilan “borjuis” dengan mobil mewahnya, tapi
meminta kami untuk bekerja mencari rezeki untuknya dengan beragam cara bahkan sampai
yang tidak halal.
Dalam rapat dia berucap:
“Saya ingkatkan kepada kalian semua. Kehidupan di Jakarta
ini keras ya, tapi untungnya saya sudah terbiasa hidup keras bahkan dari
kampung sekalipun!... Jadi kalian semua juga harus kerja keras terhadap diri
kalian. Carilah “customer” sebanyak-banyaknya agar membeli produk kita
bagaimanapun caranya.!!! Jangan takut untuk keluar uang untuk “entertain” calon customer mereka. Tanyakan apa
keinginannya dan berikan kesenangan untuk mereka. Kalo perlu kasih mereka
wanita!. Kalau kalian tidak kuberi kerja mau makan apa keluarga kalian hah….? Mengerti
kalian???!!!”
“Mengerti pak…” Kami semua hanya bisa tertunduk karena
merasa terintimidasi dengan gaya pimpinan yang “bossy” dari sang pimpinan yang
masih muda dan belum banyak pengalaman kehidupan serta minimnya ilmu agama.
“Hei kamu pak Insan. Sudah berapa milyar uang yang kamu
hasilkan untuk perusahaan?”
Aku yang bisa terdiam, karena selama ini hanya bisa bekerja
dengan rajin dan jujur semata.
“Kok diam aja….. Diluar kita memang boleh berteman tapi kalo
di dalam perusahaan ini jangan pernah menganggap saya sebagai seorang
sahabat!!!.”
“Aku tidak butuh orang jujur dan hanya bisa berdoa, yang aku
butuhkan adalah uang!!!”
Aku memang masuk bekerja disini karena menganggap semua
orang karyawan termasuk pimpinan sebagai seorang sahabat, aku juga diajak
bergabung karena sahabat.
“Mohon maaf bapak pimpinan, jika demikian adanya. Mulai hari
ini saya mengundurkan diri dari kursi wakil pimpinan bapak.” Mendadak aku
merasa kesombongannya telah melewati batas, dan aku tidak mau termasuk dalam
golongan orang-orang yang sombong.
“Ok… Silahkan. Kapan mau resign?” Tanyanya dengan nada
menantang.
“Sekarang juga pak.” Jawab saya yakin.
“Ok… Maya. Kamu tolong buatkan surat untuknya yah!”
“Baik bapak” Si Maya yang dari tadi diam membisu menuju
keluar ruangan.
Teman sekantor si Ikhsan malah berbisik dan bertanya, “nga
salah bro…? Entar loe mau dapat duit dari mana?”
“Allah yang memberi rezeki bahkan pada seekor ulat yang ada
dalam tanah, Dia juga yang memberi rezeki padaku dan kepada kita semua.”
Aku langsung maju ke hadapan pimpinan dan bersalaman.
“Mohon maaf dan terima kasih atas segalanya ya pak.
Wassalam!”
Pimpinan hanya diam dan menunduk. Semua yang hadir terdiam
seribu bahasa, pak pimpinan terlihat kaget telah kehilangan wakilnya yang
selalu setia mendukungnya hingga perusahaan yang dulunya kecil, kini menjadi
perusahaan yang bertumbuh besar.
Dalam hati aku berkata:
“Satu hari nanti akan
aku buktikan cara mendapatkan rezeki dari Allah tapi dengan cara yang halal dan
tanpa harus menzalimi orang lain. Setahuku Allah telah menjamin rezeki setiap
makhlukNya justru yang tidak dijamin Allah adalah surga yang selamanya. Carilah
rezeki yang sehalal-halalnya bukan sebanyak-banyaknya, karena setiap rezeki
pasti dihisab.”
“Bro… Gua juga sebenarnya sudah muak dengan kelakuan boss kita
yang arogan. Gua ikut mengundurkan diri juga ya!” Sang sahabat kantor berusaha
mendukung keputusanku.
“Sebaiknya jangan dulu bro. Kasihan dia jika langsung
ditinggal oleh semua karyawan. Nanti aja yah. Berikan dia waktu dan kesempatan
untuk berubah.”
“Siap bro. Gua doain loe bisa sukses juga di luar sana.”
Tutupnya sambil menepuk pundakku.
“Ok bro. Terima kasih. Semua kunci mobil, kunci kantor dan
peralatan aku titip yah bro. Aku tidak akan mengambil barang-barangku juga,
semua kuberikan untuk kantor ini. Wassalam”
Dengan menggunakan bis, aku pulang kembali ke rumah dengan
yakin, bahwa akan ada rezeki yang lebih baik dan lebih berkah dari Allah. Aku
akan berusaha untuk menjadi seorang “entrepreneur” seperti dalam buku-buku yang
aku baca di Gramedia.
“Assalamu alaikum… Mama….
Ayah pulang….“ Aku masuk ke dalam rumah sambil mencari dimana sang
istri.
“Ohhhh Waalaikum salam… Ayah sudah pulang yah… Aku lagi masak
makanan kesukaan ayah. Sayur lodeh dan ikan asin…”
“Masya Allah…. Pasti rasanya enak banget… Siapa dulu dong
yang masak…. Hehehehe” Aku memuja sang istri sambil memeluknya dengan erat
sekali.
“Ah…. Ayah…bisa aja….” Sang istri tersenyum dengan manja, sambil
menyiapkan makan malam untuk kami berdua.
Seperti hari-hari sebelumnya, kami selalu makan berdua
bersama dengan piring yang sama. Maklumlah kami belum bisa membeli banyak
peralatan masak dan makanan. Penghasilanku di bidang pemasaran belum mencukupi
untuk membeli berbagai kebutuhan rumah tangga yang masih baru.
“Papa…. Ayo tambah makanannya. Kok terlihat murung?” Istri
melihat keanehan pada raut mukaku.
“Mama…. Sebenarnya aku baru saja mengundurkan diri dari
perusahaan.”
“Oh… Alhamdulillah. Aku sudah merasa, papa tuh nga cocok
dengan gaya pimpinan seperti itu yang suka “makan” orang. Tapi bagaimana dengan
keuangan kita…?”
“Bagaimana caranya papa menghidupi keluarga… Sedangkan aku
jugakan masih kuliah?”
“In sha Allah, aku akan berusaha dan semoga Allah ikut
membantu memudahkan jalan meraih rezekiNya yang berkah…” Aku berusaha
menenangkannya.
“Iya…. Tapi kan kebutuhan kita semakin lama semakin
meningkat.”
“Iya…iya. Doakan aja yah. Semoga papa mendapatkan pekerjaan
atau malah bisa memiliki bisnis sendiri.”
“Aduuuhhh…. Papa kan tau. Bisnis sendiri itu tidak mudah,
butuh modal.” Sang istri sudah mulai panik.
“Iya…. Ini juga sedang papa usahakan, malam ini papa akan
tahajjud agar dibantu oleh Allah.”
“Terserah papa ajalah. Mudah-mudahn dibantu oleh Allah”
Makan berdua mulai terasa hambar. Kehidupan terasa semakin hampa
meliputi seluruh ruang rumah tanpa keriangan seorang anak.
“Ma…. Sepi sekali yah… Coba jika kita punya anak. Pasti
suasana jadi ramai deh…”
“Iya…. “ Jawab sang
istri pendek sambil beranjak ke kamarnya.
Aku yang ditinggal sendiri, melanjutkan makan dan membawa
piring ke dapur sekalian mencucinya. Aku dan istri sudah terbiasa hidup mandiri
karena memang kami juga adalah mantan anak kos yang semuanya dilakukan sendiri.
Sambil mencuci piring aku mencoba berfikir.
“Hmmm, jangan-jangan
sang istri tersinggung, aku mendambakan seorang anak… Ah…. Tapi mudah-mudahan
tidak… Mungkin dia hanya kecapaian aja…”
“Ma. Tadi ayah sudah mencuci piringya. Makanannya enak
banget…” Aku menghampiri sang istri di kamar, sambil membelai rambutnya yang
panjang.
“Ohhh. Thank you…. Darling.” Sambil dia bergegas menuju ke
dapur. Aku langsung berbaring dan mengambil HP (Handphone) melihat “feed” yang
ada.
Mendadak istri berteriak dari dapur.
“Aduuhhhhh… Cucinya kurang bersih nih….!!! Masih ada yang lengket,
sisa nasi masih ada. Aku aja deh yang nyuci piringnya!!!” Teriaknya agak kesal.
Aku yang mendengarnya tidak menyangka dan berusaha bangkit dari pembaringan.
“Maaf yah… Nanti aku cuci lagi….”
“Nga usah! Udah aku cuci kok….!” Balasnya ketus.
Aku langsung berbalik dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku ke masjid dulu yah sayang. Sudah waktunya sholat Isya. Assalamu alaikum…”
“Waalaikum salam….” Jawabnya sambil tetap melanjutkan
mencuci peralatan memasak yang masih tersisa. Dengan mengendarai motor aku
menyusuri jalan menuju masjid yang jaraknya 900 meter. Aku mencoba bertafakkur
dan berdoa agar keluarga baru kami diberikan kebahagiaan dengan hadirnya
seorang anak. Setiap hari aku sempatkan ke masjid agar aku selalu terhubung dan
bermunajat hanya padaNya, bukan pada makhluk lain ataupun dengan media
teknologi terkini.
Dari masjid aku langsung ke pulang ke rumah, dan melihat
sang istri sedang asyik melihat HPnya. Ucapan salamku kini seolah tak
terdengar, bahkan kadang tak dijawab lagi dengan suara, hanya dengan hati.
Melihatnya asyik dengan media sosial aku tergoda untuk mencobanya. Dan ternyata
aku juga menjadi kecanduan dengan teknologi ini. Hubungan suami istri telah
digantikan dengan teknologi. Semakin hari hubungan kami semakin terasa jauh dan
hambar dengan hadirnya sang teknologi canggih.
Sesekali aku mencoba mengintip HPnya, namun dengan sigap dia
mencoba menghindar. Seolah menyembunyikan apa yang ada didalamnya.
“Apa sih yang disembunyikan…? Kok nga boleh lihat HPnya sih!”
aku bertanya dengan bingung.
“Lho, ini kan privacy. Jadi nga boleh yah lihat hp orang
lain!”
“Hah….! Nga boleh lihat HP? Aturan dari mana itu?... Jadi
aku nga boleh lihat HP kamu gitu?” Aku bertanya makin bingung.
“Iya lah….” Jawab sang istri sambil tersenyum sendiri
melihat HPnya. Aku yang mendengarnya, langsung ke ruang tamu dan menyalakan
komputer melihat media sosial yang dimilikinya. Dan tak aku sangka ternyata
media sosial telah merenggut kehidupan rumah tangga kami. Begitu banyak
hubungan dan komunikasi yang tidak Islami telah terjalin di media buatan non
muslim ini. Aku yang tidak punya kemampuan apa-apa, hanya bisa terdiam dan
kembali bertafakur serta berdoa agar kami dijauhkan dari hubungan yang tidak
Islami.
Namun, ternyata komunikasinya sudah semakin intensif dan
reuni teman sekolah telah mencabut akar kepercayaan cinta yang telah kami
bangun. Aku marah dan kesal melihatnya hanya sibuk dengan HP dan teman-teman
reuninya.
“Ayah… Aku pergi dulu yah… Ada acara mau ketemuan dengan
teman.” Istri terlihat sudah berdandan dengan rapi dan terlihat cantik mewangi.
“Aku ikut…!” Aku meminta seperti anak kecil.
“Nga usah ayah…. Ayah drop aku aja di mall yah.” Tutupnya
sambil langsung terburu-buru menuju ke mobil. Aku hanya bisa terdiam dan
mengantar turun di lobby sebuah mall yang masih baru. Setelah menurunkannya aku
juga menuju ke sebuah pertemuan organisasi. Selesai acara aku menghubungi sang
istri namun HPnya tak bisa dihubungi hingga beberapa kali. Aku mulai mendongkol
dan kecewa berat. Dan akhirnya setelah beberapa lama menunggu, dia menelpon. Acara
sudah mulai selesai, aku masih menunggu deringan telepon sang istri. “Ayah….
Buruan jemput aku yah… di tempat tadi aku diturunkan.” Telepon langsung ditutup.
Aku langsung tancap gas dan masuk ke gerbang tol agar lebih cepat sampai di
mall baru tersebut, rasanya ingin cepat bertemu dengan sang istri. Sesampainya
di mall, kami bertemu namun tanpa bertegur sapa. Semuanya menjadi dingin dan
hambar seolah ada yang ditutupi. Dia kembali sibuk dengan HPnya dan melupakan
keberadaanku disampingnya.
“Sibuk banget sih…. Kayaknya….” Aku mulai kesal melihatnya
terus berkomunikasi hanya dengan HP.
“Sibuk banget sih…. Ngurusin urusan orang!!!” Jawabnya mulai
marah. Nga usah deh ngurusin aku tau!!!” Aku yang tahu dia marah hanya diam
sepanjang perjalanan. Rasanya perjalanan kami sangat lama tiba di rumah. Kami
“bertengkar” tanpa suara, emosi kami memuncak hingga tiba di rumah tanpa basa
basi. Kami lalu masuk ke dalam rumah tanpa mau peduli dengan masing-masing. Tidur
seranjangpun mulai tak nyaman dan saling membalikkan badan. Aku yang merasa
kurang nyaman, mulai pindah ke kamar lain agar bisa tidur dengan nyenyak tanpa ada
keributan atau pertengkaran. Tanpa terasa, tidur dengan sendiri semakin terasa
nyaman dan merdeka. Tak ada lagi pertengkaran seperti hari-hari sebelumnya,
namun yang ada hanya rasa kerinduan dan rasa syukur telah hidup bersama. Setiap
malam, merasakan kerinduan sang lebah menanti sang ratu lebah. Berselimut rindu,
menyimpan hasrat yang membara. Cinta yang digenggam dilepaskan bebas merdeka
dan mandiri. Kasih dan sayang masih tetap ada, malah semakin dalam hingga takut
untuk berpisah. Ketakutan yang semestinya hanya takut kepada Allah SWT.
Ketakutan sekaligus kecintaan yang mendalam kepada Sang
Pemilik Jiwa. Kerinduan untuk bertamu di Baitulah Mekkah semakin menggelora. “Doa yang kami panjatkan setiap hari akan
lebih mudah dikabulkan di depan Ka’bah”. Gumamku. “Hmmm, seandainya saja aku bisa umrah bersama istri, aku akan berdoa
disana agar diberikan kesuksesan dalam usaha dan diberi amanah anak yang
sholeh/sholehah.”
Tiba-tiba suara telepon berdering dengan kencangnya. Aku
yang sedang bertafakkur di masjid lupa mematikan suaranya (mute/silent mode).
Aku lalu menjawabnya dan berdiri dari yang tadinya duduk bersila menuju ke
pintu luar masjid.
“Assalamu alaikum….. Lagi dimana?”
“Waalaikum salam. Lagi di masjid ayah….” Jawabku menjawab
telepon dari ayah yang sedang berada di luar kota.
“Ini…. Ayah sedang dapat rezeki dari Allah yang dari ekspor sampah
organik itu kan. Ayah ingin memberikan sebagian rezekiNya untuk dibawa ke tanah
suci Makkah. Jadi kamu dan istri bisa beribadah umrah kesana. Nanti kamu
langsung buat paspor dan bawa kesana semua dokumen yang dibutuhkan seperti KTP
dan Kartu keluarga serta pasfoto kalian.”
“Alhamdulillah… Terima kasih banyak ayah. In sha Allah saya
langsung infokan ke istri. Pasti dia akan senang sekali mendengarnya.”
“Baiklah kalau begitu. Udah dulu yah. Jangan lupa agar
selalu berdoa dan berzikir pada Allah. Salam…” Tutup sang ayah.
“Baik ayah. Waalaikum salam” Aku menutup teleponnya dan
langsung balik ke rumah. Di sepanjang jalan menuju balik aku merasa sangat
senang sekali. Terbayang pertemuanku dengan sang nabi Allah di makam beliau dan
juga terbayang dengan doa-doa yang perlu aku bawa untuk mempercepat ijabahNya.
Doa-doa yang akan aku “proposed” kepadaNya aku tuliskan dalam sebuah syair kata
yang indah dalam secarik kertas putih khusus, pengalamanku selama ini setiap
doa yang aku tuliskan dalam secarik kertas 90% dikabulkan oleh Allah. Maka saat
ini juga, aku putuskan untuk langsung menuliskannya agar aku bisa selalu
membacanya. BISMILLAH.
Ya Allah.
Dengan menyebut namaMu yang Maha Kasih dan Penyayang.
Engkau yang Maha Kuasa mengabulkan semua doa. Maka
kabulkanlah doa hamba. Curahan rahmatMu kami terima dengan suka cita. Curahan
kasihMu kami syukur dengan indah. Tak ada kata yang lebih indah selain memuji
namaMu dan bersyukur atas segala. Keimanan, pengabdian dan kesuksesan dunia
akhirat untuk menggapai ridhoMu adalah tujuanku. Mudahkanlah jalanku meraih
rahmat dan karuniaMu. Mudahkanlah pernikahanku dan usahaku dalam menafkahi
keluargaku. Mudahkanlah perjalanan hidupku untuk selalu bersyukur padaMu.
CintaMu yang Maha telah memanggilku untuk kembali ke rumahMu setiap waktu.
Ijinkan aku untuk mengabdi padaMu, mengabdi pada keluarga, negeri dan agama.
Aku tahu, aku kan kembali. Namun sebelum itu, perkenankan aku membawa kisah
penuh hikmah untuk umur yang selamanya. Goresan tanganku membangun karyaMu
sebagai hadiah yang tak terhingga. Jika
sudah sampai waktuku. Aku ingin berkunjung ke rumahMu di bumi serta mengunjungi
sang Nabi bersama orang yang aku cinta beserta keturunan yang sholeh/sholehah.
Mudahkan aku dalam berusaha semudah aku mencium sang cinta. Mudahkan seluruh
tubuh dan hati ini untuk selalu terhubung denganMu hingga selalu berada di
jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhoi. Hidup dengan cinta, mengabdi dengan
cinta dan merasakan kehidupan surgawi sebelum surga yang sebenarnya. Bersama
kekasih hati dan jiwa, bahagia dunia dan akhirat. Ya Allah Engkau memiliki 99
nama yang indah dan aku kirimkan 99 doa serta impian yang indah kepadaMu dari
bumi menuju “langit” dan akan kusimpan hingga Engkau memanggil untuk kembali.
Kertas yang bertuliskan 99 daftar doa yang kusimpan, lalu kubawa
ke tempat tidur agar tak ada yang tahu isi permohonannya.
Comments