Ebook Novel: Ayat Cinta Sang Pujangga Karya Asrul Sani Abu

 
Novel: Ayat Cinta Sang Pujangga

Sinopsis

Novel ini, berkisah tentang perjalanan anak muda yang berasal dari kota kecil yang berpantai indah.
Anak muda ini, bernama Muhammad Insani. Ia memiliki pengalaman buruk dan impian indah dari kecil yang ditulisnya dalam sebuah tulisan dalam sebuah buku yang tersimpan dalam sebuah peti pusaka sang kakek.
Kehidupan awal yang tadinya membahagiakan dan berjalan sederhana mendadak penuh ujian dan konflik, ada kematian, perpisahan, perkelahian, kecelakaan, dan putus cinta hingga bahagia.
Tulisan-tulisannya membentuk sebuah syair yang indah dan penuh makna mendalam yang membawanya pada sebuah perubahan kehidupan. 
Anak muda yang dikenal penakut dan tidak percaya diri ini malah justru mampu keluar dan hijrah dari kampungnya untuk mengejar mimpi-mimpinya hingga mancanegara.
Keputusannya untuk selalu berfikir positif dan selalu membantu masalah yang dihadapi sahabat dan keluarganya membuatnya juga dibantu oleh "dunia lain" yang diluar jangkauannya.

Perjalanan menjadi penuh nuansa kehidupan yang dinamis, tidak biasa dan penuh drama namun dapat memberikan  pencerahan bagi para pembacanya.  

Prolog

“Oleh karena itu, saya terpaksa mencari sendiri jawabannya dalam buku. Kebiasaan yang demikian menjadikan saya sebagai kutu buku. Akibatnya, saya sering menyendiri dan terus beranalisis, tak berhenti berpikir.”  (Prof. DR. B.J. Habibie).

Hari ini, aku sedang duduk sendiri diatas bibir pantai. Mata yang tajam melihat ke seluruh penjuru laut lepas pantai yang berwarna biru. Disekelilingku berlimpah hamparan pasir pantai yang bercahaya keemasan, sampai-sampai sinar emasnya yang benderang mampu memantul ke atas langit. Aku tengadahkan mukaku kelangit. Melihat langit sambil tersenyum kepadanya.

Deburan buih ombak laut biru yang berwarna putih tak henti bergerak seirama datang silih berganti.
Sedetik, aku melangkah kedepan dan tertarik untuk mengambil air laut yang jernih dan langsung kubasuhkan ke seluruh wajah dan lenganku. Seakan telah bersuci, wajah dan seluruh tubuhku seketika menjadi sejuk dan dingin akibat tiupan angin pantai yang lembut dan sepoi-sepoi, terasa nyaman sekali….hingga tak bisa kutolak untuk tersenyum renyah, senyum tipis tapi terasa dihati. Hari ini aku tersenyum bahagia. Karena sebentar lagi aku akan mendapatkan sebuah hadiah terindah. Seorang anak bayi akan segera hadir ke bumi. Sebuah hadiah dan anugrah terindah dari Sang Pencipta. Aku tak sabar untuk segera melihatnya, menggendongnya dan bermain bersamanya.

Aku lalu menarik nafasku yang panjang, lalu kupejamkan mataku sebentar dan merasakan detak jantung yang bunyinya berirama indah hampir seirama dengan deburan sang ombak. Mendadak, mataku tertuju pada sebuah benda yang terus bergerak, terombang ambing di atas gelombang lautan. Aku lalu beranjak dari tempat dudukku, melangkah tegak dan membungkuk untuk mengambil benda itu. Sebuah kertas yang tersimpan dalam kaca pelindung. Aku penasaran dan segera membuka pelindungnya. Didalam kaca itu terdapat secarik kertas yang tertulis rapi yang ditulis tak bernama. Kertas bertuliskan itu, sepertinya telah melakukan perjalanan jauh dan sangat panjang.

Aku membacanya dengan perlahan dan seksama di tengah keheningan pantai. Lalu kertas putih itu, aku masukkan kedalam saku dan kubawa pulang bersama. Tulisan ini seperti sebuah rahasia yang tersimpan, karena berisi impian-impian yang belum terjadi. Kertasnya aku bawa pulang ke rumah. Sayup-sayup, aku dengar suara burung walet dan camar bersahutan, seolah menyapaku yang sedang sendiri, larut dalam menikmati waktuku. Mereka berbicara sambil mengajakku bermain dan menikmati alam pantai yang berbukit penuh warna hijau nan asri. Seolah berkata: “bersyukurlah wahai engkau yang sedang duduk. Bersyukurlah wahai sang jiwa yang sendiri namun tak sepi.”
Suara itu terdengar, namun tidak dengan telinga. Suara yang berasal entah dari mana. Bagai frekuensi radio alam yang bergelombang.

“Bacalah alam ini, lihatlah sekelilingmu…”
“Bacalah dan bacalah sekali lagi.”
“Ikuti irama bacaan dan nikmati hidangan yang telah diberikan dari Sang Maha.”
Perlahan, kuperbaiki sikap dudukku dan mulai lebih santai serta lebih sadar. Maka sedetik kemudian, terbukalah yang selama ini tertutupi. Terbukalah hati dan jiwa melalui mata, telinga dan semua panca indera yang kumiliki. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Maka mulailah aku menulis. Sebuah keabadian hingga waktu yang ditentukan. Kutulis beberapa kata di hamparan pasir pantai dengan jariku kubentuk sebuah karya tulisan dan simbol. Sebuah kata syair yang tak biasa, yang kuimpikan kata-katanya mampu merubah kehidupanku hari ini. Kutulis dibawah langit disaksikan sang lautan dan burung-burung yang sedang beterbangan, dengan rasa yakin dan merdeka. Hari ini, aku merdeka melakukan apa saja. Aku mulai menerima bisikan “sang malaikat putih” yang terasa halusnya mulai mendekat bergeser ke sebelahku.
Telah lahir seorang insani di pulau yang indah. Pulau yang mempesona hati dan jiwa.

Di kota yang berpantai dan berbukit menjulang.
Dari atas bukit, engkau bisa melihat pantainya.
Dari atas perahu, engkaupun bisa melihat sang bukit.
Pantai biru di kala pagi dan senja.
Berpasir hitam namun tak berkarang.

Diatas sebuah rumah yang berpanggung.
Berdinding kayu, pasir dan batu.
Bertangga kayu dan batu.
Berpagar besi nan putih.
Putihnya secerah jiwa.
Berpandangan bukit yang tertutupi.

Semua yang tertutupi, akan terbuka.
Bagai membuka pintu taman surgawi.
Yang ada hanya wangi semerbak.
Wangi bunga yang mempesona.
Warna-warni keceriaan.
Taman terindah yang tak terlihat.

Hanya yang terpilih yang mampu.
Melihat, merasakan dan kesana.
Itulah tujuannya dan tujuanNya.
Rahasia yang terangkat.
Terangkat oleh cinta.

Aku mengikuti irama suara yang tak terdengar namun dapat terasa nyata dengan frekuensi gelombang yang unik dan berbeda. Bisikan syair yang tak biasa.
“Dikau Sang Maha Pengasih.
Dikau Sang Maha Penyayang.
Duhai Dikau Sang Maha Cinta.”

“Kurindu rahmatMu Ya Allah.
Kurindu berkahMu Ya Allah.
Kurindu pelukMu Ya Allah.
Kurindu kasih sayangMu Ya Allah.”

“Temani aku saat sendiri ini.
Temani disaat aku sepi.
Temani disaat ku lelah.
Temani disaat ku tak berharap pada siapa.”

“Penuhi hidup dengan impian.
Penuhi hidup dengan berkah.
Penuhi hidup dengan cinta.
Penuhi hidup dengan bahagia.”

“Panggillah saat kulalai.
Dengarkanlah hatiku.
Simaklah desiran jiwaku.”

“Kunjungiku setiap saat.
Kutuliskan sang rindu.
Kutuliskan sang impian.”

“Menggapai cita suci.
Menggapai harapan indah.
Menghampar di bumi.
Menyelusuri jalan impian.
Meniti impian.
Merajut cinta & kasih.”

“Biarkan ku melangkah.
Menuju cinta abadi.
Cahaya yang kurindu.
Terbang ke pangkuan jiwa suci.
Menghirup udara cinta.”

“Mencium wangi kasih.
Memeluk harapan dan cita suci.
Tersenyum bahagia selalu dan selamanya.”

Setelah menulis, dan membacanya berulang kali. Ada perasaan yang aneh dan unik. Aku merasakan kebahagiaan, perasaan lega yang tak terkira. Seolah semua beban telah terangkat ke langit, yang tercurah adalah limpahan rahmat dan kasih dari Sang Maha Kasih. Kubuka mata dengan lebar. Matahari mulai meredup, tanda sang cahaya besar sudah mulai terbenam. Aku membalikkan badan, memunggungi lautan berbalik menuju pulang, pulang ke rumahku yang berpanggung. Aku sekarang ini memang tinggal di sebuah rumah kayu yang berpanggung tak jauh dari pantai indah ini. Berada dibawah sebuah kaki bukit yang hijau.Aku tinggal di rumah kayu bersama sang nenek dan kakek. Aku hanyalah seorang manusia biasa, seorang bocah lelaki yang lugu dan polos, yang bernama Muhammad Insani bin Akbar. Berperawakan biasa, berkulit coklat cerah namun bermata tajam.  

Aku suka merenung dan menyusuri jalan sendiri, sambil menikmati sudut-sudut kota yang sudah berbenah, bahkan terlihat ada beberapa rumah kayu yang mulai menyalakan lampunya walaupun dengan lampu yang dipompa. Beberapa anak kecil terlihat berlarian dan bermain di depan kolong rumah kayunya, sambil tersenyum dan tertawa bahagia.

Sebuah kota pantai yang romantis dan indah. Laksana lukisan sang jenius Leonardo Da Vinci pelukis yang mendunia. Cantik dan  misterius bagaikan tulisan sang penulis William Shakespeare yang melegenda. Kota yang hampir tak terungkapkan pesonanya yang berpantai dan berbukit indah ini. Setelah berjalan kaki beberapa menit, tibalah aku di persimpangan jalan menuju rumah.Mendadak. Aku melihat ada banyak orang yang sedang berkumpul di depan halaman rumah. Aku sontak kaget dan terperanjat. “Ada apa gerangan?????” Gumamku dalam keheranan, kepalaku agak kumajukan mencongak melihat ke ujung jalan.





Ayat Cinta Sang Pujangga Karya Asrul Sani Abu


Comments

Popular Posts