SEBUAH NOVEL DI HARI IBU (AYAT CINTA SANG PUJANGGA)



Novel karya Asrul Sani Abu

SEBUAH NOVEL DI HARI IBU
Sore itu menjelang maghrib, matahari sudah mulai meredup dan gelap sudah mulai menyelimuti hari.
Namun sayup-sayup sebuah teriakan keras sang ibunda terdengar sangat jelas. Sang ibu meraung, meronta, menendang dan berteriak histeris di keheningan senja.
"TIDAKKKKKK......”
“TIDAAAAKKKKKK.....”
“huuuuhhhhhh….huuuuuuuuhhh……
huuuuuuuuuuuuu…..........”
"Saya tidak mau kehilangan anakku!!!!"
"Dia tidak mati!!!!"
"Huuuhhhhhhhhhhhhhh"
"Aaaaaaakkkhhhhhhhhhhhhhhh...."
"Ya ALLAH"
"Saya tidak sanggup kehilangan anak ku....."
"Dia tidak berdosa!!!!!"
"Dia masih bayi........"
"Ya ALLAH............................."
" Ya ALLAH............................"
" Ya ALLAH............................"
Ia terus berteriak keras. “AAHHHHHHHH” Sambil sesekali menarik nafasnya dengan panjang.
Namun walau tetap menyebut asma Allah, Ibunda terus meraung dan berteriak histeris, sambil dipegangi tangan dan kakinya dengan erat oleh seluruh anggota keluarga.
Gerakan tangan dan kakinya yang meronta-ronta serta teriakannya yang keras semakin lama, semakin lemah dan lunglai.
Sang ibu beristigfar….
Astagfirullah al azhiiiiim
Astagfirullah al azhiiiiim
Atagfirullah al azhiiiiim
Dengan menarik nafasnya kembali, namun kali ini dengan sangat panjang, ia berusaha ikhlas atas semua kejadian yang telah menimpanya...
Sambil bersimbah keringat, Ibunda mulai terlihat pasrah…
Aku yang masih bocah, hanya terdiam membisu. Diam seribu bahasa.
Tak tahu harus berbuat apa, ketika melihat ibunda berteriak histeris karena kehilangan bayi yang baru saja dilahirkannya.
Iya, aku saat itu masih seorang bocah kecil yang baru masuk sekolah dasar.
Teriakan ibunda selalu mengingatkanku betapa perihnya kehilangan orang yang kita sayangi.
Aku kehilangan seorang adik yang masih bayi. Wajahnya putih bersih dan berhidung mancung, sekilas terlihat cakep dan bersahaja. Sang adik baru saja dilahirkan namun tidak lama setelah lahir adinda segera kembali dipanggil ke pangkuan Ilahi.
Aku belum tahu apa-apa tentang cinta dan kehilangan, apalagi tentang kematian.
Aku memang baru saja hidup di dunia yang baru.
Dunia yang asing, dan belum tahu mau kemana....entahlah.
Semua masih samar.
Inikah dunia baru? Inikah dunia ciptaan Allah tempatku bersemayam dan bermain?
Yang aku ingat.
Aku mendadak ada di sebuah rumah yang aman dan nyaman bersama keluarga. Aku merasa bagaikan masuk kedalam ruang waktu, dan mendadak tiba di bumi yang indah.
Perjalanan hiduppun baru saja dimulai, di sebuah kota kecil yang sepi namun berpantai dan berbukit yang indah.
Aku hanya memiliki harapan dan impian yang belum pasti...
Itupun masih kusimpan dengan rapat dalam sebuah tulisan yang tersimpan dan terjaga. Tak ada yang tahu dimana tulisan itu berada.
Aku hanyalah manusia biasa, seorang bocah lelaki yang lugu.
Namun kegemaranku dalam menulis dan berimajinasi, membuatku sering menulis dalam sebuah buku yang tersimpan. Buku yang disimpan khusus dalam sebuah peti yang berharga.
Tulisan yang menuliskan segala yang ada, hingga membuka pintu masa depan...
Impian yang selama ini ku tulis dalam sebuah syair yang sakral.
Tak seorangpun tahu tulisan yang ku buat dan tulis setiap malam.
Yang orang tahu, aku adalah seorang anak yang pendiam dan sering menyendiri serta bermain sendiri. Orang mengganggapku anak yang senang melamun sendiri.
Seorang anak yang baik dan penurut serta sabar tanpa banyak keinginan apalagi tuntutan.
Bahkan ketika ibunda menangis histeris dimalam itu. Aku hanya bisa tertunduk dan terdiam membisu tanpa berkata apa-apa.
“Kaget ya Ikhsan?....”
Tiba-tiba nenek menyentuh pundakku dan menegurku.
“Iya, nek.”
Jawabku pendek, sambil merunduk diatas sebuah batu besar yang berasal entah dari mana.
Sang nenek walaupun sudah tua namun masih terlihat jelas aura kecantikan bunga mawar yang dulunya pernah mekar dan masih berkulit putih dan bersih.
Aku senang bersama sang nenek dan sering memeluknya dengan erat.
Kasih dan sayangnya sangat terasa masuk ke dalam hati dan jiwaku.
Menerima jawaban pendek, diapun segera berlalu. Beliau sepertinya hanya ingin memastikan, bahwa aku, cucu kesayangannya baik-baik saja.
Terlihat dari kejauhan beliau masih sibuk dan masih harus membujuk sang ibunda untuk lebih pasrah dan ikhlas dalam kematian sang anak, yang tidak lain seorang cucunya juga.
Akupun tak ingin memperpanjang pembicaraan, karena belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Akupun tak berani mendekat, hanya memandang sang ibunda dan keluarga lain dari kejauhan di sudut luar rumah.
Aku kembali duduk diatas sebuah batu besar, sambil mengira-ngira apa gerangan yang sedang terjadi sehingga sang ibu menangis histeris hingga terdengar sampai keluar rumah dan mengagetkan semua tetangga.
Yang pasti, itulah tangisan pertama yang terdahsyat yang pernah kulihat.
Senja itu, adalah sebuah senja yang tak terlupakan hingga aku beranjak tumbuh dewasa.
Akupun mulai menuliskan kisah dalam sebuah buku kosong berwarna putih. Sebuah kata dari hati dan jiwa yang kubiarkan terbang lepas menerawang semesta.
Didalam buku tersebut aku bebas mengeksplorasi seluruh hati dan jiwa. Bagaikan burung elang yang lepas bebas dan merdeka terbang mengitari gunung gunung yang menjulang ke awan.
Aku bebas menuangkan rasa cinta, impian dan kasih dalam secarik kertas dalam bentuk tulisan dan gambar.
Aku menyebutnya “buku hidup” yang kutulis saat sendiri. Iya, aku senang sendiri. Berbicara dan berfikir di keheningan. Bagai seorang nabi yang sedang bertafakkur di dalam sebuah gua yang tinggi. Bagai seorang pemimpin yang berintrospeksi yang telah terjadi dan mencari solusi untuk semua.
Dari keheningan dalam kesendirian, kutemukan koneksi dengan Sang Maha Lembut. Maha Kuasa dan Sang Maha Pencipta segalanya.
Momen berharga dalam hubungan itu, sungguh sayang untuk tidak diabadikan dalam sebuah karya tulisan.
Sebuah syair tentang dunia, hidup dan Maha Hidup, sang kekasih, tentang cinta dan kasih serta perpisahan. Sebuah tulisan impian nyata dan kemana langkahku berjalan ketika waktu terus berputar. Bagai jam yang terus berputar dan bagai orang yang tawaf disekeliling Kabah.
Pikiranku yang sedang menerawang….terus lepas dan terbang. Kini hingga mencapai langit dan semesta alam.
Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar suara adzan dari masjid dekat rumah.
“Allahu akbar allahu akbar!!!”
“Allahu akbar allahu akbar!!!”
Suara muadzin yang telah berumur sekitar 70 tahunan memanggil dengan suara seraknya.
Akupun langsung bergegas menuju ke tempat wudhu dan bersiap untuk sholat memenuhi panggilan Sang Pencipta.
Buku yang kupegang, kututup dengan rapat dan kutaruh diatas meja. Aku tak ingin ada orang yang mengetahui apa yang ada dalam fikiran dan perasaanku saat itu… Tak akan ada yang mampu memahaminya. Kecuali ketika Sang Waktu membukanya.
Akupun tak ingin ada yang mengetahui syair impianku. Biarlah syair itu kusimpan rapat sendiri dalam sebuah tempat yang rahasia dalam sebuah peti khusus yang tak ternilai harganya.
BERSAMBUNG.....
Selamat Hari Ibu Sayangku...
Semoga suatu hari Novel ini terbit dan menjadi hadiah terindah di hari ibu.




Comments

Popular Posts